Heboh, Kritik Pedas Santri Lewat Selembar Kertas pada Ketimpangan Hukum di Indonesia

  • Bagikan

Reporter: Ahmad Zainul Khofi

Probolinggo.HarianJatim.com – Pagi hari tadi (15/07/23), Saya jalan-jalan ke asrama santri di Pondok Pesantren Nurul Jadid. Tak disangka, usai membeli camilan di koperasi induk pesantren (Enje Mart), saya bertolak untuk membaca koran harian yang terpajang di dinding informasi umum pesantren—lokasinya tepat di depan kopin. Tanpa sengaja, di dinding majalah informasi umum pesantren, saya menemukan kertas lusuh berisi tulisan tanpa identitas penulis yang telah jatuh dari tempelannya, hendak memperbaiki posisi kertas itu, saya membaca tulisannya, Eh…ternyata saya baca, berisi tentang cuitan seorang santri terkait kondisi penegakan hukum yang ada di Indonesia.

banner 336x280 banner 336x280

Kata masyayikh di Pesantren, menjadi seorang santri di Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo, selain belajar tentang teologi atau pembelajaran Agama Islam (mengaji, kitab kuning, dsb.), santri juga dituntun untuk memiliki patriotismenya melalui genangan pendidikan berbangsa dan bernegara yang diberikan, sebagaimana makna dari sila ke-3 Panca Kesadaran Santri (Dasar Santri Nurul Jadid) yaitu Kesadaran Berbangsa dan Bernegara.

Salah satu sikap patriotisme santri yang ditulis dibuktikan dengan perilaku sederhana yaitu melalui selembar kertas lusuh, remuk dan terpajang tak beraturan di dinding informasi umum pesantren membuat getir hati saya pagi itu. Begini tulisannya:

 “Ya Allah… jadikanlah hambamu ini penegak hukum yang adil dan jujur untuk negara. Sediakan 1000 peti mati untuk para koruptor dan sediakan satu peti mati bila “saya korupsi””. Saya menceritakan perihal tersebut pada sebagian pengurus, “Wahh heboh,” sahut salah satu pengurus pesantren.

Bagaimana saya tidak getir? Seorang santri yang masih fokus menitih perjalanannya menempuh pendidikan yang mulia dan dinilai masih culun terhadap hal-hal berbau politik, sudah dengan tegas berani menyuarakan kegelisahan atas ketimpangan hukum yang terjadi di Indonesia.

Membaca tulisan itu, membuat saya terdiam sejenak untuk berkontemplasi betapa parahnya kasus korupsi yang sudah menjadi rahasia umum. Kemudian, saya mencoba mencerna gagasan santri yang asalnya ditulis dalam kalimat yang tak panjang itu menjadi jabaran tulisan berparagraf.

Kalimat pertama yang berbunyi “Jadikanlah hambamu ini penegak hukum yang adil dan jujur untuk negara.” Kalimat “Penegak hukum” dapat bermakna beberapa lembaga negara, diantaranya Mahkamah Agung dan peradilan khusus, Kejaksaan, Mahkamah Konstitusi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dan Badan Nasional Narkotika. Dalam konteks ini, saya menangkap bahwa lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjadi objektif profesi santri A (sebut saja santri tanpa identitas itu dengan inisial Santri A) di masa depan.

Kemudian, kalimat “…yang adil dan jujur untuk negara,” menandakan bahwa dalam teropong penilaian santri A terhadap instansi KPK sampai saat ini belum memenuhi kriteria untuk dapat dikatakan “Jujur dan adil”. Dalam beberapa berita terakhir yang diterbitkan oleh sejumlah berita online seperti Kompas.com, Detik News, CNN Indonesia, dan portal berita aktual lainnya berkait kasus-kasus korupsi yang dialami oleh oknum-oknum penegak hukum tersebut cukup membuktikan bahwa gagasan santri itu kredibel atau benar nyatanya. Seperti berita yang ditulis oleh Yogi Ernes pada tanggal 13 Juli 2023 di Detik News tentang “Modus Pegawai KPK Tilap Uang Dinas: Biaya Perjalanan 5 Orang, Ditulis Jadi 6” dan “Rentetan Kasus Pegawai KPK: Pungli, Asusila, dan Hingga Dugaan Korupsi” ditulis oleh pji di CNN Indonesia pada tanggal 28, Juni 2023.

Selanjutnya, kalimat “Sediakan 1000 peti mati untuk para koruptor…” menggambarkan banyaknya koruptor maupun calon koruptor di Indonesia.  Hal ini senada dengan hasil survey yang dilakukan oleh lembaga Transparency International pada akhir tahun 2022, bahwa Indonesia mencapai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) sebesar 34 poin dari skala 0-100 poin, dengan indikator ini artinya praktik korupsi di negara kita masih begitu besar.

Kalimat terakhir “dan sediakan satu peti mati bila “saya korupsi”” merupakan ketegasan santri A dalam menjalankan ajaran syariat Islam yang telah diajari di Pondok Pesantren, salah satunya tegas menolak korupsi. Sebagaimana perintah atau larangan Allah yang tercantum dalam Q.S. Al-Baqarah: 148 yang berarti “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara yang batil (tidak benar)”.

Memang, korupsi di Indonesia kerap menjadi permasalahan yang tak ada ujungnya untuk diselesaikan. Dengan demikian, bukan berarti hal itu dilazimkan. Semoga dengan niat dan ikhtiar baik oleh generasi muda dapat menemukan solusi untuk permasalahan yang tak bertepi itu di masa depan. Dan santri-santri seperti “Santri A” semoga tumbuh subur di negeri ini. Aamiin.

Editor: Ponirin Mika

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner 336x280
Verified by MonsterInsights