Oleh: Dyah Kemala Hayati, S.H
Wajah Desentralisasi Asimetris
Berbicara mengenai demokrasi tidak terlepas dengan kehendak dalam pembagian kekuasaan, oleh karenanya kekuasaan harus didelegasikan kepada entitas lainnya di luar pemerintah pusat. Dalam hal ini, daerah diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk menyelenggarakan pemerintahan yakni dengan desentralisasi. Desentralisasi merupakan suatu konsekuensi logis sebagai praktik demokrasi di Indonesia. Kewenangan daerah akan berbeda dengan adanya desentralisasi asimetris, maka diperlukan campur tangan pemerintah pusat selaku pemilik kewenangan memantau perkembangan daerah.
Konsepsi desentralisasi salah satunya adalah desentralisasi asimetris, dimana asimetris yang didasari faktor politik yang menjadi khas suatu daerah dan kaitannya dengan konflik sebagai sejarah, seperti Papua dan Aceh. Selain tu, desentralisasi asimetris didasari sosial budaya suatu daerah, dalam hal ini contohnya Daerah Istimewa Yogyakarta. Dari pada itu, desentralisasi asimetris dilandasi geografis suatu daerah sebagai daerah perbatasan, seperti Kepulauan Riau dan Kalimantan Barat. Terakhir didasari oleh tingkat pembangunan dan kapasitas pemerintahan seperti Jakarta. Desentralisasi asimetris menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah merupakan pemberian urusan kepada pemerintah daerah oleh pemerintah pusat berdasarkan asas otonom.
Dinamika Desentralisasi Asimetris Pasca Berlakunya UU Cipta Kerja
Desentralisasi asimetris merupakan pemberlakuan atau transfer kewenangan khusus yang hanya diberikan kepada daerah tertentu dalam suatu negara. Konsep desentralisasi asimetris tersebut dipercaya dapat menangani dan menanggulangi berbagai konflik antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu otonomi kabupaten/kota yang seluas-luasnya dan otonomi daerah khusus untuk provinsi. Meskipun demikian, penerapan desentralisasi asimentris di Indonesia, berubah manakala lahirnya konsep Omnibus Law yang diterapkan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker).
Penerapan desentralisasi asimetris ternyata menuai polemik manakala konsep Omnibus Law sederhana yang diterapkan pada UU Ciptaker disahkan dan diberlakukan. Polemik tersebut disebabkan ujungnya berbagai ketentuan yang menurunkan semangat otonomi daerah, khususnya implementasi desentralisasi asimetris. Peran pemerintah daerah untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan dengan prinsip otonomi daerah desentralisasi asimetris cenderung direduksi dan dibatasi, dengan kehadiran Pasal 174 UU Ciptaker yang menyatakan bahwa kewenangan menteri, kepala lembaga, atau pemerintah daerah yang telah ditetapkan oleh undang-undang untuk menjalankan atau membentuk peraturan perundangundangan harus dimaknai sebagai pelaksana kewenangan presiden.
Tidak hanya itu, UU Ciptaker terbukti memangkas kewenangan daerah eksklusif pula. Pertama, lahirnya ketentuan hilangnya kewenangan memproses dan menerbitkan analisis dampak lingkungan hidup dan izin lingkungan (Pasal 22 UU Ciptaker). Pemerintah daerah tidak lagi mengeluarkan izin maupun persetujuan karena bukan lagi menjadi kewenangannya. Dokumen Amdal menjadi dasar uji kelayakan lingkungan hidup oleh Lembaga Uji Kelayakan Pemerintah Pusat yang terdiri atas pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan ahli bersertifikat. Kedua, hilangnya konsultasi penentuan wilayah potensial minyak dan gas bumi (Pasal 40 UU Ciptaker), dulunya hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang berisi mengenai dasar konsultasi yang dapat ditetapkan menteri setelah berkompromi dengan pemerintah daerah. Ketiga, pemangkasan kewenangan ketenagalistrikan (Pasal 42 UU Ciptaker). Pemerintah daerah tidak lagi memiliki kewenangan menetapkan izin usaha penyediaan listrik, izin operasi hingga penetapan tarif tenaga listrik. Padahal sebelumnya dalam UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, penyelenggaraan penyediaan tenaga listrik dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang berlandaskan pada prinsip otonomi daerah.
Perihal kewenangan pada desentralisasi asimetris pun berubah, oleh sebab UU Ciptaker memberikan perubahan dalam perizinan bidang industri. Pasal 101 ayat (1) UU Ciptaker menyatakan bahwa setiap kegiatan usaha industri wajib memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah pusat. Hal ini mencederai prinsip desentralisasi sehingga menjadi sentralisasi karena dalam ketentuan pasal tersebut pemerintah pusat memiliki kewenangan penuh dalam memberikan izin industri. Pemerintah memiliki tujuan jika peraturan diubah menjadi sedemikian rupa akan membuat investor tertarik menanamkan modal di Indonesia karena dimudahkan dengan peraturan yang seragam dari pemerintah pusat. Namun, dengan berlakunya aturan tersebut justru akan menghilangkan kewenangan pemerintah daerah dan menandakan kembalinya konsep sentralisasi. Tentu saja hal ini kontradiktif dengan hakikat maupun eksistensi dari otonomi daerah itu sendiri. Perubahan lain juga terdapat dalam Pasal 117 ayat (1) UU Ciptaker yang mengatur bahwa pemerintah pusat melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan usaha industri dan kegiatan usaha kawasan industri. Pemerintah pusat lagi-lagi memiliki kekuasaan untuk melakukan pengawasan terhadap izin industri, padahal jika ditelisik lebih dalam, pemerintah daerahlah yang lebih mengerti keadaan secara langsung di daerahnya masing-masing.