Muhammad Irvan Mahmud Asia
Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Agraria & Sumber Daya Alam
Dalam kurung waktu 2 tahun terakhir, impor kakao Indonesia meningkat signifikan. Pada 2023, total volume impor kakao sebesar 340,45 ribu ton. Dari jumlah ini, volume impor kakao biji (sudah terfermentasi tetapi belum diproses lebih kanjut) mencapai 274,86 ribu ton atau sekitar 80,73 persen dari total impor, sisanya adalah impor tepung kakao sebesar 29,90 ribu ton atau 8,78 persen dan berbagai jenis termasuk cokelat cair.
Lonjakan impor, sejaaln denhan penurunan produksi kakao. Menyusutnya luas areal kakao ditengarai menjadi determinan utama. Pada 2019, luasnya sekitar 1,56 juta hektar dengan total produksi 734,80 ribu ton, menurun hingga 1,39 juta hektar dengan total produksi 632,12 ribu ton pada 2023.
Jika ditarik lebih kebelakang, produksi dalam negeri tahun 2014 masih mampu menyuplai 70 persen kebutuhan industri. Namun, pada 2021, angkanya anjlok menjadi 37 persen. Artinya, 63 persen sisanya bergantung pada impor (Kompas.id, 14/9/2023).
Produksi yang menurun sangat disayangkan mengingat harga kakao saat ini cukup kompetitif. Mengutip id.tradingeconomics.com/commodity/cocoa, harga kakao per 27 Juni 2025 mencapai US$9,449.05 per metrik ton, naik 3.31% dibandingkan 26 Juni. Harga ini termasuk rekor tertinggi sepanjang sejarah, meskipun belum menyamai harga kakao pada Desember 2024 yang mencapai US$12.906.
Situasi ini menjadi kerugian dan ancaman serius bagi industri kakao nasional. Bukan saja volume impor yang akan bertambah, produsen makanan, permen, dan ritel harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk mendapatkan bahan baku, dan dalam jangka panjang, daya saing produk cokelat lokal di pasar ekspor terancam, dan lapangan kerja dibagian hilir berkurang.
Tantangan terbesarnya adalah harmonisasi kebijakan hulu – hilir kakao. Misalnya untuk kakao fermentasi dengan kualitas premium harganya sangat mahal dan mestinya dapat menjadi insentif bagi petani untuk meningkatkan kualitas. Namun kondisi produktivitas yang rendah akan menghambat ketersediaan kakao fermentasi berkualitas. Oleh karena itu, peningkatan kualitas mesti paralel dengan peningkatan produksi kakao nasional.
Dilevel kebijakan, yang perlu ditinjau ulang dan diperbaiki adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67 Tahun 2010 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar yang didalamnya termasuk biji kakao menimbulkan persoalan sebab bea keluar yang ditanggung eksportir dibebankan pada petani karena harga jual di tingkat petani menjadi rendah.
Akar Persoalan
Pertama, usia tanaman yang sudah tua dimana mayoritas kakao terutama kebun rakyat ditanam pada tahun 1980-an padahal produktifitas optimalnya hanya rentang 10-15 tahun. Bahkan data Dewan Kakao Indonesia (Kompas.id, 13/2/2025) menyebut lebih dari 60 persen tanaman kakao kita berusia diatas 20 tahun.
Kebijakan peremajaan kakao melalui Gerakan Nasional Peningkatan Mutu dan Produksi Kakao (Gernas Kakao) yang dimulai tahun 2009 (era SBY) tidak berjalan maksimal karena berbagai hambatan terutama keterbatasan modal petani dan keterbatasan benih unggul (tersertifikasi).
Kedua, pemanfaatan lahan eksisting tidak optimal dimana populasi tegakan kakao tidak utuh lagi. Misalnya, dalam satu hektar terdapat 1.000-1.600 tegakan tanaman, tetapi kenyataannya jumlah itu tidak tercapai. Padahal, jika satu tegakan menghasilkan 1 kilogram, maka sekali panen bisa 1,6 ton- dengan dua kali panen dalam satu tahun, maka setahun bisa tembus 3 ton per hektar.
Ketiga, inisiatif petani untuk perawatan juga rendah sebab terkendala biaya. Bahkan untuk pemangkasan tanaman, lebih dari 70 persen tidak dilakukan yang berdampak pada produktifitas kebun rakyat, kurang dari 0,4 ton per hektar. Petani kemudian mengalihkan lahannya ke komoditas lain seperti sawit karena menjanjikan dan perawatannya lebih mudah.
Keempat, perluasan area kebun kakao juga mandeg. Contoh, program pembukaan kebun kakao di Sumatera Barat belum terealisasi dengan baik. Penyebap utamanya: adaptasi terhadap kondisi lingkungan, keterbatasan modal, bibit unggul, dan pengetahuan petani.
Kelima, ketimpangan dalam rantai pasok dimana petani sebagai pelaku utama di hulu kerap terabaikan (kurang mendapatkan insentif), sementara pelaku di hilir dimudahkan dengan berbagai insentif kebijakan.
Keenam, serangan hama dan penyakit yang membuat buah kakao tidak optimal seperti jamur akar rigidoporus microporus, atau penyakit mati pucuk akibat oncobasidium theobromae. Lebih parah lagi ketika perubahan iklim ekstrim, misalnya curah hujan yang tinggi membuat bunga cokelat berguguran atau buah cokelat cepat membusuk.
Berbenah
Defisit kakao adalah ancaman. Seluruh pemangku kepentingan, harus serius berbenah untuk memastikan industri hilir tetap terjaga dan nilai tambah sebesar-besarnya bagi petani dan pelaku usaha dalam negeri. Setidaknya terdapat lima hal yang harus dikerjakan serius.
Pertama, replanting (peremajaan) tanaman tua dan perluasan kebun kakao mesti menggunakan bibit klon dengan produktifitas tertinggi. Ini menjadi tugas dan tantangan bagi Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember untuk memastikan bibit yang dilepas ke pasar atau petani kakao betul-betul memiliki produktifatas yang baik.
Kedua, perlindungan kebun kakao yang produktif dari alih fungsi lahan. Pemerintah harus membuat aturan seperti yang berlaku pada komoditas padi (lahan sawah dilindungi), masuk dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan tidak diperbolehkan beralih fungsi tanmpa kajian mendalam dan izin khusus.
Ketiga, akses pembiayaan yang murah, misalnya kebijakan kredit usaha rakyat (KUR) untuk petani kakao diberi subsidi oleh negara sehingga bunganya lebih kecil. Sementara untuk mengurangi beban akibat kebun yang gagal panen, dibutuhkan asuransi tanaman sesuai kebutuhan guna memperkuat daya tahan petani ketika terjadi kekeringan, banjir, dan serangan penyakit serta hama.
Hadirnya Peraturan Presiden No 132 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Dana Perkebunan memberi harapan yang lebih kuat untuk memecahkan masalah pembiayaan. Pasal 2 ayat (3) disebutkan kelapa sawit, kakao, dan kelapa akan dihimpun dananya oleh badan tersendiri untuk mendorong pengembangan perkebunan yang berkelanjutan.
Namun demikian, masuknya kakao dan kelapa menjadi isu pro dan kontra terutama dari para pelaku usaha sawit. Pihak yang kontra mendalilkan bahwa perluasan akan mengurangi fokus dan anggaran yang dialokasikan untuk pengembangan industri sawit, yang selama ini menjadi prioritas Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Ada juga kekhawatiran mengenai potensi ketidakadilan dalam pembagian dana. Sementara yang pro, menyebut perluasan sebagai upaya pengembangan sektor kakao dan kelapa yang selama ini kurang mendapat perhatian- diversifikasi komoditas perkebunan.
Sekarang bagaimana Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) memastikan alokasi dana dilakukan secara adil dan transparan, serta tidak merugikan salah satu sektor.
Keempat, penanganan penyakit tanaman. Dibutuhkan penyuluhan dan peran penyuluh kakao sangat penting. Dengan ditariknya kewenangan pengelolaan penyuluh pertanian lapangan (PPL) dari daerah ke pusat, Kementrian Pertanian dituntut untuk memperkuat efektifitas penyuluhan perkebunan sehingga kakao sebagai komoditas unggulan dapat menjadi pionir ekspor, bukan saja kakao biji tetapi produk turunannya.
Jika semua pembenahan ini sukses dilakukan, bukan saja mengurangi impor, tetapi secara keseluruhan menjadi penentu keberlanjutan industri dalam negeri serta daya saing produk olahan kakao Indonesia di pasar global.