Muhammad Irvan Mahmud Asia
Wakil Ketua Umum DPN Tani Merdeka Indonesia
Bumi semakin menua. Penyebapnya sangat beragam, salah satunya adalah produksi dan cara mendapatkan pangan yang tidak berkelanjutan.
Dalam percaturan global yang semakin menempatkan isu pangan sebagai prioritas strategis, konsep Blue Food atau Pangan Biru muncul sebagai salah satu solusi masa depan. Blue Food merujuk pada sumber pangan yang berasal dari ekosistem perairan, baik laut maupun tawar seperti ikan, rumput laut, kerang, dan organisme akuatik lainnya yang bernilai gizi tinggi serta jejak karbon rendah – membantu mitigasi perubahan iklim.
Muncul kesadaran baru di komunitas nelayan maupun pembuat kebijakan (eksekutif dan legislatif) bahwa praktik-praktik yang tidak ramah lingkungan, seperti penggunaan bahan kimia secara berlebihan, pukat harimau, pengeboman ikan, dan berbagai kegiatan terlarang lainnya, telah menyebabkan pencemaran air, kerusakan biota laut dan terumbu karang, serta peningkatan emisi gas rumah kaca.
Singkatnya, dibutuhkan cara pandang baru dalam mengelola kekayaan hayati di perairan darat dan laut. Konsep Pangan Biru atau yang juga dikenal sebagai ‘Pangan Air’ hadir sebagai solusi untuk memenuhi kebutuhan pangan masa depan.
Indonesia sebagai negara kepulauan, dengan luas perairan 6,4 juta kilometer persegi atau 75 persen dari total wilayah Indonesia dan luas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) sebesar 3,0 juta kilometer persegi menunjukan besarnya potensi yang tersimpan, didalamnya termasuk Blue Food.
Namun, di balik potensi besar tersebut, seperti dikatakan Cokorda Yudistira M Putra bahwa Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan serius dalam tata kelola kelautan, mulai dari kerusakan ekosistem laut, pencemaran, penangkapan ikan ilegal, hingga ketimpangan kesejahteraan masyarakat pesisir (www.kompas.id/artikel/kebijakan-ekonomi-biru-indonesia-sejalan-perjanjian-pencegahan-penangkapan-ikan-ilegal).
Hal ini tercermin dari kontribusi sektor maritim terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 2024 yang hanya 7,9 persen. Ini menjadi tantangan besar, mengingat Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) menargetkan kontribusi sektor ini sebesar 15 persen pada 2045.
Potensi Sultra
Berdasarkan data Pemerintah Sultra, produksi ikan tangkap mencapai 270.151 ton pada tahun 2024, naik dari 268.000 ton dibandingkan 2023. Capaian ini mencerminkan komitmen nyata dalam memperkuat sektor perikanan dan kelautan. Kota Kendari, sebagai pusat produksi utama, mencatat surplus ikan sebesar 24.400 ton, yang berperan penting menjamin ketersediaan pangan laut lokal dan terbukti menjaga stabilitas harga.
Per Juni 2025, Sultra sudah mengekspor 98 ton produk perikanan: gurita beku 42,4 ton, sotong beku 10 ton, dan daging kepiting 45,6 ton dengan tujuan Amerika Serikat dan Thailand dengan nilai total mencapao Rp 28 miliar.
Sultra juga termasuk provinsi utama penghasil rumput laut (makroalga), termasuk dalam lima besar nasional, dengan ekspor produk olahan utama berupa agar-agar dan karaginan. Komoditas ini sangat potensial menjadi andalan Blue Food karena bernilai gizi, ramah lingkungan – mampu menyerap karbon serta mengurangi tekanan pada tanaman darat, dan dapat dikembangkan menjadi produk farmasi.
Tantangannya adalah meningkatkan budidaya dan tidak mengekspornya dalam bentuk bahan mentah dan ini membutuhkan infrastruktur yang saling terkoneksi dan koherensi regulasi.
Dengan kekayaan laut yang melimpah dan tradisi maritim yang mengakar kuat di masyarakat, Sultra menjadi salah satu pusat Blue Food terbesar dan terdepan.
Untuk itu, diperlukan road map, rencana aksi, dan kolaborasi semua elemen: pemerintah membuat regulasi yang tepat, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pelaku swasta, maupun asosiasi nelayan – kerjasama mitra yang sehat.
Selain itu, sinergi dengan dunia pendidikan dan riset seperti kehadiran Politeknik Kelautan dan Perikanan, peran Universitas Haluoleo sangat memainkan peran penting dalam menyiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) unggul dan riset berbasis inovasi untuk mendorong peningkatan hasil tangkap, akuakultur, dan hilirisasi untuk nilai tambah.
Membangun Fondasi
Sebagai bagian dari paradigma ‘Ekonomi Biru’ konsep Blue Food di Indonesia termasuk di Sultra masih terfragmentasi. Misalnya dalam hal sistem regulasi, dimana terjadi disaparitas penegakan hukum antar Indonesia dengan negara seperti Jepang atau Korea Selatan. Didalam negeri sendiri, antar daerah juga terjadi gap seperti dalam perikanan darat misalnya terjadi ketidaksesuaian antara luas tambak dengan dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan seterusnya.
Dengan demikian, untuk mengaktualisasikan potensi Blue Food di Sultra, dukungan kebijakan, penegakan hukum, insentif pajak dan subsidi, dan integrasi dalam sistem pangan yang luas sangat mendesak.
Hal lain, memperkuat kemitraan terutama Public Private Partnership (PPP) terutama dalam aspek pembiayaan dan infrastruktur Blue Food. Dalam konteks perikanan tangkap misalnya, penangkapan ikan harus dilakukan terukur sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur.
Pemerintah daerah juga harus linier dengan apa yang saat ini menjadi perhatian utama Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang terus berupaya mendorong program biota akuatik secara terkontrol sekaligus menjaga kualitasnya. Beberapa komoditas unggulan yang terus dikembangkan secara budidaya berkelanjutan adalah udang, lobster, kepiting, rumput laut dan ikan nila.
Singkatnya, Blue Food melarang kegiatan eksploitasi secara berlebihan dan spirit ini sejalan dengan SDG 12 “memastikan pola konsumsi dan produksi berkelanjutan”.
Lebih dari itu, pengembangan Blue Food di Sultra tidak semata-mata fokus pada industri besar. Justru yang paling penting adalah pemberdayaan nelayan dan pembudidaya kecil. Caranya dengan memperkuat koperasi perikanan, pelatihan terutama untuk pasca panen rumput laut, fasilitasi akses pembiayaan sehingga pengembangan Blue Food benar-benar inklusif.
Pendekatan ini akan menjamin pertumbuhan Blue Food tidak hanya menciptakan nilai tambah ekonomi, tetapi juga mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan nelayan dan warga pesisir secara umum.
Dengan seperti itu, mimpi menjadikan Sultra sebagai poros Blue Food nasional bukan sekadar hayalan, tetapi keniscayaan strategis yang berbasis pada data, potensi, dan arah kebijakan yang terkonsolidasi.