Oleh Gembala Dr. A.G. Socratez Yoman
Sejarah membuktikan bahwa sebuah kekuasaan pemerintahan yang dibangun atas dasar kejahatan, kekerasan dan kebohongan, ketidakbenaran, ketidakadilan, yang merendahkan martabat kemanusiaan, ia tidak pernah bertahan lama. Ia selalu runtuh hancur, berantakan, dan tinggal dalam kenangan sejarah. Apakah Papua akan bernasib begitu kedepan?
Pertanyaan demikian memandu penulis dalam merefleksikan perjalanan konflik Papua yang belum juga selesai hingga saat ini, karena akar persoalan konflik itu sendiri yang diabaikan dan tidak muncul dari pihak negara untuk menyentuh, bahkan menyelesaikan persoalan sejarah pengintegrasian West Papua (Irian Barat) ke Indonesia.
Proses pengintegrasian West Papua ke Indonesia kedalam wilayah Indonesia dengan proses yang benar, adil, jujur dan itu memang benar-benar pilihan dari hati nurani sejatinya menjadi jalan bermartabat dan beradab, sehingga dihormati oleh para pihak. Namun, proses pengintegrasian, yang dilakukan melalui Pepera justru terungkap dilakukan secara tak bermartabat, banyak manipulasi, intimidasi, dan rekayasa-tak sesuai prinsip-prinsip jajak pendapat menurut ketentuan internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), “one man one vote” – satu orang satu suara.
Proses pengintegrasian yang bermasalah tersebut menyebapkan kami, orang asli Papua bersikap tidak mengakui hasil Pepera tersebut, apalagi menghormatinya, karena telah menduduki tanah leluhur kami secara tak bermartabat.
Lebih baik kita berjuang untuk menegakkan nilai kebenaran dan keadilan demi martabat bangsa kami. Bukan masalah menang dan kalah, tetapi kejahatan dan ketidakadilan kolonial Indonesia yang merendahkan martabat bangsa Papua harus dilawan dan diakhiri dengan perjuangan menyatakan fakta sejarah dan realitas hidup orang-orang Papua yang menderita dan jadi korban kejahatan kemanusiaan.
Situasi masyarakat Papua yang berbeda dalam ketakutan, jadi korban kekerasan dan konflik, akibat sejarah pengintegrasian yang tidak benar, maka dalam proses memperjuangkan martabat (dignity) rakyat dan bangsa West Papua tidak dengan cara mengemis dan tunduk kepada penguasa kolonial modern Indonesia. Kami bangsa Papua, sejak dulu, berdaulat dan terhormat di atas tanah leluhur kami.
Proses kolonialisme yang tidak selesai di tanah Papua menjadi sejarah kelam. Ketika Papua – saat itu West New Guinea (Irian Barat) melewati zaman dekolonisasi, dimana proses politik memberikan kesempatan bangsa Papua menentukan nasib sendiri sebagai wilayah yang berpemerintahan independen. Namun, dekolonisasi Papua melalui jalan berliku: dari Konferensi Meja Bundar (KMB), Perjanjian New York, dan Perjanjian Roma, yang disepakati dengan jalan “self determination” berujung pada proses yang politik non-self determination.
Act free choice atau jajak pendapat yang didesain non-interveren, gagal dilakukan. Jajak pendapat, yang diselenggarakan oleh pemerintah Indonesia atas pengawasan PBB, didesain dengan rekayasa, menggunakan kekuatan koersif dari militer dan aparatus sipil.
Implementasi pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 yang tak pernah melibatkan orang asli Papua kini terus digugat. Dua perjanjian internasional yang dibuat oleh Belanda, Indonesia, dan Amerika Serikat yang berisi keputusan penting mengenai hak politik penduduk asli Papua justru diberangus atau disingkirkan melalui proses-proses negosiasi dan diplomasi yang tak melibatkan rakyat Papua atau tokoh-tokoh pemimpin Papua saat itu.
Ketidakjujuran di tubuh bangsa Indonesia dimulai sejak dibuat dan ditandatanganinya Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962. Perjanjian itu tak melibatkan rakyat Papua. Tiga bangsa dan negara penandatangannya: Amerika Serikat, Belanda, dan Indonesia berkongsi bahkan berkonspirasi.
Perjanjian yang dikenal dengan New York Agreement itu memiliki empat tujuan. Pertama, perjanjian ini untuk mengakhiri pertengkaran antara pemerintah Belanda dengan Indonesia tentang status politik dan masa depan rakyat dan bangsa Papua Barat.
Konflik antara Belanda dan Indonesi mengenai Papua Barat mencuat dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag (The Haque) pada 27 Desember 1949. Belanda tidak memasukan hak politik Papua Barat ke dalam wilayah Indonesia.
Dalam buku BPUPKI dan PPKI (1998) diungkapkan bahwa Belanda memutuskan untuk tidak menyerahkan kedaulatan Papua Barat ke dalam Republik Indonesia. Dan hal itu sesungguhnya dimengerti oleh Wakil Presiden RI Drs. Mohammad Hatta bahwa “Secara pribadi ingin saya nyatakan bahwa bagi saya masalah Irian Barat tidak perlu dipersoalkan. Saya tahu bangsa Papua pun berhak menjadi bangsa yang merdeka.”
Tujuan kedua dari New York Agreement adalah untuk kepentingan membendung perkembangan komunisme di kawasan Asia Pasifik. Menurut pengamat politik Cipta Lesmana seperti dipublikasikan di Media Indonesia, 30 November 2000, halaman 4, masalah Papua Barat akan memperuncing konfrontasi Amerika Serikat dan Uni Soviet.
“Pemerintah Amerika Serikat dibawah Presiden John F. Kennedy semula menentang mati-matian pengembalian Papua Barat ke pangkuan RI. Soekarno kemudian berpaling kepada Nikolai Krushchev pemimpin Uni Soviet, setelah dengan jelas mengetahui sikap Washington. Perlengkapan militer canggih senilai satu miliar dollar Amerika, termasuk kapal selam, segera mengalir ke Jakarta dari Moskow. Kennedy rupanya khawatir masalah Irian Barat dapat berbuntut pada pecahnya kembali konfrontasi langsung antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Daripada Indonesia sepenuhnya jatuh kepangkuan Soviet, lebih baik Soekarno dijinakan. Tekanan Amerika itu yang tampak membuat Belanda akhirnya mengalah, merelakan solusi Irian Barat diserahkan sepenuhnya kepada PBB.”
Dalam surat rahasia Presiden Amerika John F. Kennedy tertanggal 2 April 1962, Amerika menyiapkan bantuan yang diperlukan PBB pada saat rakyat Papua melaksanakan penentuan nasib sendiri. “Dalam keadaan seperti ini serta didorong oleh tanggungjawab kami untuk kebebasan dunia (non-kumunis), saya mendesak dengan sangat, agar pemerintah Belanda menerima rumusan yang telah disampaikan kepada wakil Anda oleh Tuan Bunker.” Dalam surat yang sama, John F. Kennedy menegaskan kepada Dr. J.E. de Quay “Kami tentunya akan menekan pemerintah Indonesia sekuatnya, agar menyetujui pembicaraan-pembicaraan lanjutan atas rumusan tersebut diatas.”
Tujuan ketiga Perjanjian New York adalah kepentingan Amerika Serikat untuk menguasai emas di Papua. Kepentingan ekonomi Amerika terbukti dengan disepakati kontrak karya penambangan emas di Papua selama 30 tahun yang ditandatangani pada 7 April 1967, antara Indonesia dengan Freeport setelah Soeharto dilantik pada 12 Maret 1967 sebagai Presiden. Ambisi Amerika untuk merampok dan menguasai tambang emas di Namangkawi, Mimika (Tembagapura) itu terjadi dengan begitu cepat. Kontrak karya itu dibuat hanya dalam waktu 42 hari setelah Soeharto dilantik sebagai Presiden.
Kesepakatan Amerika dan Indonesia pada 7 April 1967 itu bertolak belakang dengan pelaksanaan Pepera. Artinya, sebelum Papua Barat dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia dengan moncong senjata, kontrak karya penambangan emas di Papua dilakukan dua Negara (Amerika dan Indonesia). Bisa dikatakan keduanya melakukan pendudukan dan penjajahan atas Papua Barat.
Perjanjian New York 15 Agustus 1962 terdiri dari 29 pasal yang terdiri dari tiga bagian penting. Bagian pertama mengenai transfer administrasi dari Belanda kepada PBB yang disebut UNTEA (United Nations Temporary Executive Administration) yang diatur dalam pasal 2, pasal 3, sampai pasal 11. Bagian kedua tentang transfer administrasi dari UNTEA (PBB) kepada Indonesia yang diatur dalam pasa 12 dan pasal 13. Lalu, bagian ketiga mengenai penentuan nasib sendiri (self determination) orang asli Papua yang diatur pada 9 pasal, mulai dari pasal 12 sampai dengan pasal 22.
Tujuan utama Perjanjian New York ialah penyelesaian persengketaan antara Indonesia dan Belanda atas status politik bangsa West Papua dan diberikannya kesempatan kepada orang asli Papua untuk penentuan nasib sendiri diatas tanah dan negeri leluhur mereka atas pengawasan PBB. Tetapi, setelah penulis menyelidiki dan mengkritisi dengan saksama Perjanjian tersebut yang terdiri dari 29 pasal itu, ternyata perjanjian New York dibuat untuk kepentingan penyerahan pemerintahan dari Belanda kepada Indonesia, bukan untuk kepentingan penentuan nasib sendiri orang asli Papua.
Satu lagi perjanjian yang krusial bagi sejarah bangsa Papua, yang masih terkait dengan Perjanjian New York, adalah Perjanjian Roma yang ditandatangani pada 30 September 1962. Perjanjian ini juga menyepakati penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua. Ada beberapa poin atau isi dari Perjanjian Roma: (1) Penundaan atau bahkan pembatalan pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969. (2) Indonesia menduduki Papua Barat selama 25 tahun terhitung 1 Mei 1963 sampai tahun 1988. (3) Pelaksanaan Pepera tahun 1969 adalah dengan system local Indonesia “musyawarah” untuk “mufakat.” (4) Laporan akhir tentang hasil-hasil pelaksanaan Plebisit tahun 1969 kepada Sidang Umum PBB agar diterima tanpa sanggahan terbuka. (5) Pihak Amerika Serikat bertanggungjawab menanamkan modalnya pada sejumlah BUMN di bidang eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) di Papua Barat. (6) Amerika Serikat menunjang pembangunan Papua Barat selama 25 tahun melalui jaminan kepada Bank Pembangunan Asia sebesar USD 30 juta. (7) Amerika Serikat menjamin pendanaan Program Transmigrasi Indonesia ke Papua Barat melalui Bank Dunia.
Mari kita lihat lebih kritis lagi hal yang termuat dalam perjanjian itu dari pasal ke pasal. Saya mulai dengan pertanyaan pertama, mengapa pasal 2 ditetapkan penyerahan wilayah Papua dari Belanda kepada UNTEA (PBB) dan selanjutnya dari UNTEA menyerahkan kepada Indonesia? Pada 1 Oktober 1962 pemerintah Belanda menyerahkan Papua kepad UNTEA. Selanjutnya pada 1 Mei 1963 UNTEA serahkan Papua kepada Indonesia. Yang sebenarnya ialah UNTEA harus berada di Papua selama 6 tahun dalam mempersiapkan pelaksanaan penentuan nasib sendiri orang asli Papua pada 1969.
Lalu pertanyaan kedua, mengapa pasal 7 dan pasal 13 disetujui menggunakan kekuatan militer Indonesia di Papua sebelum orang asli Papua memilih menjadi bagian sah wilayah Indonesia? Keterlibatan militer Indonesia juga diakui oleh Sintong Panjaitan (2009:169) bahwa “seandainya kami (TNI) tidak melakukan operasi Tempur, Teritorial, wibawa sebelum Pepera 1969, pelaksanaan Pepera di Irian Barat dapat dimenangkan oleh kelompok Papua Merdeka.”
Hal tersebut merupakan kesalahan fatal yang dilakukan Belanda dan Indonesia serta Amerika Serikat yaitu penyerahan Papua kepada Indonesia pada 1 Mei 1963. Seharunys, keamanan dari UNTEA mengawasi wilayah Papua selama 6 tahun sejak 1963 sampai pelaksanaan Pepera 1969.
Pertanyaan ketiga, bagaimana UNTEA mensosialisasikan kepada orang asli Papua sesuai dengan Perjanjian New York pasal 10 tentang penyerahan pemerintahan dari UNTEA kepada Indonesia? Ada tiga alas an. Pertama, PBB telah terlibat dalam konspirasi politik untuk mengabaikan hak penentuan nasib sendiri orang asli Papua dalam Perjanjian New York. Kedua, UNTEA mempunyai waktu sangat terbatas, anggota UNTEA dikurangi oleh Indonesia dan sementara jangkauan wilayah geografis yang sangat luas sehingga wewenang dan pengawasan anggota UNTEA sangat terbatas. Ketiga, pemerintah Indonesia benar-benar dan serius menghalangi pekerjaan UNTEA di Papua Barat.
Pertanyaan keempat, mengapa pasal 12 dalam perjanjian itu ditetapkan UNTEA akan menyerahkan semua atau sebagian bahkan disebut penyerahan kembali pemerintah penuh di Papua kepada Indonesia? ini berlawanan karena orang asli Papua belum menyatakan pilihan untuk bergabung dengan Indonesia sesuai Perjanjian New York pasal 18 butir D tentang “penentuan nasib sendiri orang-orang asli Papua sesuai praktik internasional.” Kenyataannya, UNTEA menggabungkan wilayah Papua ke dalam wilayah Indonesia sebelum Pepera 1969.
Pertanyaan kelima, mengapa pasal 14 dari perjanjian itu disetujui untuk dilaksanakan Undang-Undang dan peraturan-peraturan Indonesia di Papua sebelum Papua dimasukkan kedalam wilayah Indonesia? PBB, Amerika, dan Belanda bersama-sama dengan Indonenesia memasukan Papua kedalam wilayah Indonesia dan tindakan ini merupakan kesalahan fatal karena orang asli Papua tidak pernah terlibat dalam proses perjanjian New York.
Terakhir, apakah pemerintah Indonesia sungguh-sungguh melaksanakan perjanjian pada pasal 15 tentang pendidikan dan pembangunan social, budaya, dan ekonomi di Papua melalui Dana United Nations for the Development of West Irian (FUNDWI) sebesar 30 milyar dollar yang disumbangkan Belanda sebagai tanda perpisahan dengan rakyat Papua?
Jose Rolz-Bennet, Sekretaris Jendaral PBB pada 1967 datang ke Jakarta dan berkunjung ke Papua Barat untuk melihat pembangunan dan persiapan penentuan nasib sendiri orang asli Papua. Jose menyatakan pemerintah Indonesia menghalangi pembangunan, penggunaan uang yang melenceng, dan korupsi meluas dalam pemerintah yang dikuasai militer (Maire Leadbeater, 2018:140).
Melihat fakta-fakta yang muncul setelah Pepera 1969, yang saat itu dibungkam, kini menggerakan bangsa Papua untuk memperjuangkan kembali sejarah dan cita-cita perjuangan Bangsa Papua. Kita menjadi tahu, bahwa Dr. Fernando Ortiz Sanz dalam laporan resminya pada Sidang Umum PBB tahun 1969 menyatakan bahwa “mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negara Papua Merdeka.” (UN Doc. Annex I, A/7723, paragraph 243, p.47).
Kemudian, pada Juni 1969, Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia mengakui kepada anggota Tim PBB, Ortiz Sanz secara tertutup (rahasia) menyebut bahwa 95% orang-orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua (Summarey of Jack W. Lydman’s report, July 18, 1969, in NAA, Extracts given to author by Anthony Bamain).
Sejarah Papua hari ini, berkaca dalam realitas sejarah pengintegrasian Papua kedalam Indonesia yang dilakukan dengan tidak benar. Saya melihat apa yang pemerintah Indonesia lakukan setiap hari terhadap rakyat dan bangsa West Papua. Itulah kenapa rakyat dan bangsa West Papua berpendirian untuk menentukan masa depannya sendiri sebagai solusi damai untuk mengakhiri tindakan rasisme dan ketidakadilan yang dialami oleh orang-orang asli Papua lebih dari 60 tahun.
*Penulis adalah Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP); Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC); Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC); dan Anggota Baptist World Alliance (BWA).