Sedangkan Rina Mariana atau Ibu Rina, guru bagian kesiswaan, juga partner pendamping Ibu Ika, juga mengomentari tentang bagaimana perempuan menjadi pemimpin. “Perempuan sebagai pemimpin sekarang wajar-wajar saja, karena seharusnya bukan karena perempuannya tapi karena kemampuannya. Kebetulan di sekolah ini yang bisa perempuannya. Kami melihatnya lebih pada kemampuannya masing-masing (terlepas dari latar belakang maupun gender),” ucapnya.
Atas dasar kesetaraan yang sudah melekat inilah kemudian sekolah menerima ajakan untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang CREATE adakan, karena merasa nilai-nilai yang CREATE ajarkan bisa memperkuat lagi toleransi, pluralisme, dan kesetaraan gender di lingkungan mereka. Badar Satria Nusantara, salah satu alumni SMAN 8 Kota Malang membagikan pengalamannya selama mengikuti kegiatan CREATE, “Aku mikir awalnya CREATE kayak webinar biasa, tapi waktu aku ikut kegiatan CREATE itu acara yang paling niat untuk menumbuhkan rasa toleransi pada teman-teman yang seumuran aku.”

Badar, yang juga sempat menjadi bagian dari pengurus OSIS periode 2020-2021, tidak pernah merasa terintimidasi ataupun terpinggirkan dengan kemunculan pemimpin perempuan karena menurutnya kemampuan dapat dimiliki siapa saja terlepas gendernya apa. Namun, ada beberapa suara dari kalangan siswa yang masih terjebak konstruksi budaya patriarki sehingga seringkali meremehkan teman-teman perempuannya. Suara-suara sumbang tersebut tetap ada, meskipun sebagian besar warga sekolah sudah paham bahwa gender bukan halangan dalam melakukan apapun.
Pernah suatu saat, Badar mendapatkan pertanyaan dari teman akrabnya, “Kamu kok mau sih disuruh-suruh perempuan? Bukannya laki yang harus nyuruh ya?” Badar hanya membalas dengan kelakarnya, “Kamu kalau nyuruh aku bisa apa enggak?” Kemampuan koordinasi tidak dimiliki oleh semua orang, belum tentu laki-laki bisa mengkoordinasikan berbagai macam kegiatan yang berjalan dengan baik. Menanggapi langgengnya kepemimpinan perempuan di OSIS selama 3 tahun ini, Badar mengakui mereka mempunyai kemampuan yang mumpuni dalam urusan kepemimpinan. Muncul lebih banyak keteraturan yang dirasakan Badar selama menjadi bagian dari pengurus OSIS dan mempengaruhinya dalam setiap kegiatan.
Pada praktiknya, sekolah pun ikut mengakomodir bagaimana kesetaraan berpendapat terjadi di lingkup sekolah. Soal kesetaraan pendapat, guru dan siswa mempunyai forum sarasehan yang dimaksudkan untuk menampung aspirasi siswa atau keluh kesah mereka selama bersekolah. Para guru dan murid kompak untuk bisa menjadi padu dan tetap menghormati satu sama lain, sejalan dengan tagline yang dianut ‘Sekolah Ramah Anak’, sesuai dengan arahan pemerintah yang dicanangkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada tahun 2015.
Niangke Fairrachma, selaku ketua OSIS SMAN 8 Kota Malang yang masih menjabat hingga sekarang mengungkapkan pendapatnya mengenai perempuan dan kepemimpinan. Menurutnya, ada beberapa aspek yang memang berbeda dari laki-laki ataupun perempuan. Namun bila bicara soal kemampuan, tergantung individu masing-masing. Sebagai seorang anak yang tumbuh di lingkungan yang mendukung emansipasi, pikiran-pikiran yang mengedepankan laki-laki itu adalah pemikiran kuno. Laki-laki dan perempuan tercipta untuk saling melengkapi.
Lalu, bagaimana dengan sindiran-sindiran? Selama Niangke menjabat, pada dasarnya tetap ada perkataan yang meragukan kapasitasnya dalam memimpin karena dia perempuan. “Langsung di depan muka saya sih enggak ada, saya cuma denger-denger aja. Tapi teman-teman di sekolah luar saya sering mendengar kadang ada yang underestimate mereka, tapi tergantung individu masing-masing kalau bisa ngebuktiin, gender bukan jadi penghalang,” tutur Niangke.