Studi ini menunjukkan bahwa yang memilih Anies Baswedan cenderung berasal dari kalangan menengah ke atas. Ada 20 persen dari yang berpendidikan SLTP ke bawah yang memilih Anies, sementara yang SLTA ke atas 27 persen.
Saiful menjelaskan bahwa Anies relatif baru dalam politik Indonesia, karena itu yang potensial mengenalnya pertama kali adalah mereka yang memiliki latar belakang pendidikan yang lebih tinggi dibanding masyarakat pedesaan yang kurang akses pada berita dan mereka umumnya memiliki pendidikan yang lebih rendah.
Sama dengan Anies, Ganjar Pranowo dalam politik nasional juga relatif pendatang baru. Anies dan Ganjar adalah gubernur, karena itu, menurut Saiful, pada dasarnya meraka adalah tokoh lokal. Tapi menjelang pemilihan umum, mereka masuk menjadi tokoh nasional, setidaknya dalam pemberitaan.
Itu yang menjelaskan mengapa proporsi pemilih Ganjar lebih besar pada yang berpendidikan tinggi dibanding yang rendah. Dari yang berpendidikan SLTA ke atas, Ganjar dipilih sekitar 31 persen, sementara yang berpendidikan SLTP ke bawah sebesar 26 persen.
Hal ini berkebalikan dengan profil pendukung Prabowo Subianto. Ada 36 persen yang berpendidikan SLTP ke bawah yang memilih Prabowo, sementara yang berpendidikan SLTA ke atas sebesar 28 persen.
“Proporsi pemilih yang berpendidikan lebih rendah lebih besar dari yang berpendidikan lebih tinggi pada pemilih Prabowo,” kata Saiful.
Saiful menyatakan bahwa bisa dipahami mengapa proporsi pemilih yang berpendidikan menengah ke bawah lebih tinggi yang memilih Prabowo karena Prabowo sudah sangat lama dikenal dalam kontestasi pemilihan presiden, sudah dua kali menjadi calon presiden.
“Karena itu masyarakat di bawah sudah mengenal Prabowo. Sementara Ganjar Pranowo belum cukup dikenal pada masyarakat bawah,” jelas Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta tersebut.
Secara keseluruhan, ini menunjukkan perbedaan kelompok pendidikan memiliki pengaruh signifikan dalam pilihan calon-calon presiden.
“Unsur perbedaan pendidikan tidak bisa diabaikan,” kata Saiful.
Saiful melanjutkan bahwa data ini memiliki implikasi pada sosialisasi. Biasanya orang yang berpendidikan lebih sulit diyakinkan. Orang pendidikan lebih kritis, bisa berdebat, dan tidak mudah dimobilisasi untuk memilih seorang calon. Sebaliknya, orang yang kurang berpendidikan biasanya menjadi target mobilisasi.
Dalam konteks ini, menurut Saiful, secara praktis, Prabowo lebih rentan karena pemilih cenderung lebih mudah dimobilisasi. Orang yang kurang berpendidikan lebih mudah dipengaruhi oleh yang berpendidikan lebih baik.
Baca : Survie SSC, Ganjar dan Prabowo jadi Pilihan Favorit Warga Jatim
PEMILIHAN LEGISLATIF