Pamekasan – harianjatim.com Pulau Madura dikenal sebagai daerah yang tidak kekurangan tokoh yang berpengaruh dalam menyebarkan syiar islam.
Raden Azhar merupakan salah satu tokoh ulama besar pada masanya. Beliau merupakan leluhur sebagian para ulama yang berada di Pamekasan, Sumenep hingga daerah tapal kuda. Adapun di daerah tapal kuda, salah satu keturunan pancer dari beliau ialah KHR As’ad Syamsul Arifin, Sukorejo, salah satu tokoh besar Nahdlatul Ulama.
Berdasarkan catatan sejarah, Raden Azhar gugur bersama Raden Tumenggung Ario Adikoro IV (R Ismail), yakni ketika adanya peristiwa pemberontakan Ke’ Lesap di tahun 1750 M yang bertempat yang bernama Bulangan. Keduanya dikenal dengan gelar anumerta, Sido Bulangan.
Nasab
Diketahui, Raden Azhar memang dikenal berasal dari keluarga ulama sekaligus bangsawan di Pamekasan. Adapun gelar Raden di depan namanya menunjukkan identitas kedarah biruannya. Sementara itu, posisinya sebagai penghulu, jelas menunjukkan kapasitas keilmuannya di bidang agama.
Kendati demikian, terdapat dua versi mengenai asal-usul Raden Azhar, Sang Penghulu Bagandan Pamekasan ini, yang dimana kedua versi tersebut memiliki sumber otentik.
Di versi pertama yang salah satunya ditulis oleh Kangjeng Raden Tumenggung Ario (KRTA) Zainalfattah Notoadikusumo, sejarawan legendaris Madura. Ia menyebutkan, bahwa Raden Azhar adalah salah satu putra dari Raden Tumenggung Wiromenggolo, alias Pangeran Purwonegoro.
Lebih lanjut, sejarah versi tersebut mencatat, bahwa Tumenggung Wiromenggolo merupakan adipati Sumenep yang memerintah pada 1709-1721 Masehi. Adapun istri Wiromenggolo ialah Putri Pangeran Rama alias Cokronegoro II, penguasa Sumenep sebelumnya.
Dalam catatannya, Wiromenggolo ini berputra 11 orang. Dua di antaranya ialah Pangeran Cokronegoro IV alias Raden Alza alias Pangeran Lolos; dan Raden Wongsodirejo, yakni nama lain dari Raden Azhar Penghulu Bagandan.
Jika ditarik ke atas, Wiromenggolo adalah putra Pangeran Wirosari. Wirosari adalah anak Pangeran Megatsari Pamekasan. Pangeran Megatsari adalah anak Pangeran Mertosari Jambringan Pamekasan. Pangeran Mertosari adalah anak Pangeran Suhra atau Kiai Pradata, yaitu salah satu anak Kiai Pragolbo (Pangeran Arosbaya).
Adapun versi kedua yang dipegang oleh sebagian anak keturunannya yang bersumber dari catatan manuskrip kuno yang diwariskan turun temurun, menunjukkan, bahwa Raden Azhar Penghulu Bagandan yang wafat di Desa Bulangan saat berperang melawan Ke’ Lesap itu keturunan dari Panembahan Kalijaga alias Panembahan Qadhi.
Lebih lanjut dalam catatan tersebut, diketahui, bahwa Panembahan Kalijaga ini ditulis berputra Kiai Mujahid. Kiai Mujahid disebutkan tinggal di Arosbaya dan beristri di daerah tersebut. Beliau diterangkan menjabat sebagai Mufti (pemberi fatwa) di Negeri Arosbaya dan dikenal alim ilmu fikih. Sementara itu, Kiai Mujahid ini berputra Kiai Ahmad. Kiai Ahmad menikah dengan Nyai Maimunah putri dari Kiai Ma’rifat Penghulu Keraton Pamekasan.
Kiai Ma’rifat menjabat sebagai Penghulu, yaitu Penasehat Agama Kerajaan yang diangkat oleh Kangjeng Tumenggung Megatsari. Usai Penghulu Ma’rifat wafat, maka yang menjadi penggantinya adalah sang menantu, yaitu Kiai Ahmad sebagai Penghulu Pamekasan.
Dari pernikahan antara Kiai Ahmad bin Kiai Mujahid dengan Nyai Maimunah binti Kiai Ma’rifat ini maka lahirlah seorang pemuda yang diberi nama Muhammad Al-Azhari.
Kiai Muhammad Al-Azhari mempunyai putra yang bernama Azhar atau yang lebih dikenal dengan Raden Azhar, beliau diangkat menjadi Qadhi (Penghulu) Pamekasan di zaman Raden Isma’il (Raden Tumenggung Ario Adikoro IV).
Setelah memasuk usia dewasa, Raden Azhar menikah dengan Nyai Qadhi putri Nyai Aminah Lembung Somor Koneng Kwanyar Bangkalan. Nyai Qadhi ini bersaudara kandung denganNyai Toronan (istri Kiai Agung Toronan). Sehingga dengan demikian, antara Raden Azhar dengan Kiai Agung Toronan dalam istilah Maduranya disebut saudara loway.
Mengajar Ngaji di Desa Bulangan
Sejak masa mudanya, sebelum berperan menjadi Penghulu Keraton, Raden Azhar sangat peduli dengan ilmu agama. Ia dikisahkan mendalami ilmu agama dari ayahnya. Di sebuah desa di Kawedanan Pegantenan, Raden Azhar rutin mengajari ngaji, baik Al-Qur’an ataupun ilmu agama lainnya. Karena istiqomahnya Raden Azhar molang (mengajari) ngaji, maka tempat beliau berdakwah, saat ini diberi nama desa Bulangan.
Bulangan ini dimaknai sebagai tempat beliau molang (mengajari) ngaji, dimana beliau molang di sebuah surau yang terbuat dari kayu yang beratap belli’ (ilalang/welit).
Beberapa meter di sebelah timur lokasi surau, terdapat sumber mata air tempat Raden Azhar beserta para santrinya mandi dan bersuci.
Dikutip dari cerita yang dituturkan oleh Kepala Desa Bulangan Barat, yaitu H Faishol, menyebutkan, bahwa sumber mata air itu sangat sakral sampai sekarang. Di dalamnya hidup ikan lele berwarna putih. Sedangkan di luar kolam tempat aliran air yang keluar dari kolam, ikan lelenya berwarna hitam.
“Masyarakat sekitar tidak berani menggunakan air di dalam kolam untuk menyiram tembakau, karena tembakaunya tidak akan masak,” kata Kepala Desa Faishol.
Menjadi Penghulu Di Keraton Pamekasan
Jabatan Penghulu Pamekasan yang biasa diperankan oleh Raden Azhar adalah jabatan yang diwariskan dari buyutnya, yaitu Kiai Ma’rifat yang menjadi Penghulu pada saat zamannya Raden Tumenggung Megatsari.
Seperti disebut di awal, usai Kiai Ma’rifat wafat, diganti oleh menantunya yaitu Kiai Ahmad. Setelah Kiai Ahmad wafat, diganti oleh putranya yaitu Kiai Muhammad Al-Azhari, dan sepeninggalnya, jabatan Penghulu Pamekasan diteruskan oleh putra beliau yaitu Raden Azhar yang diangkat oleh Raden Isma’il (Raden Tumenggung Ario Adikoro IV).
Dalam catatan sejarah, segala urusan agama keraton, urusan adat dan urusan sosial kemasyarakatan lantas menjadi tugas Raden Azhar untuk menanganinya.
Tentang Nama Sadangdang
Dikisahkan saat Raden Azhar sowan (nyabis) ke kakak lowaynya yaitu Kiai Agung Toronan, disebut terdapat peristiwa aneh yang lantas diabadikan dalam bentuk penamaan sebuah lokasi di Pamekasan.
Diketahui, kala itu Raden Azhar sowan untuk meminta izin kepada Kiai Agung Toronan dan mengutarakan niatnya untuk berperang melawan Ke’ Lesap, atas dasar perintah dan pengabdian terhadap Raja.
Sepulang dari Toronan, beliau kembali ke sekitar area Kota Raja Pamekasan dengan menunggangi kuda lewat daerah Kowel (saat ini menjadi salah satu kelurahan di kecamatan Pamekasan). Setelah melewati Asta Kolpajung (Komplek Pemakaman Raja-raja Pamekasan), tanpa diketahui dari mana asalnya, belasan burung gagak (dangdang) datang mau menerkam Raden Azhar dengan suara khasnya yang saling bersahutan satu sama lainnya, dan hal itu terlihat langsung oleh penduduk setempat. Maka setelah kejadian itu, tempat Raden Azhar akan esaop (diterkam) Dangdang ini dikenal dengan sebutan Sadangdang yang artinya Saop Dangdang.