Bencana di Negeri Bergolak: Refleksi Myanmar untuk Indonesia

  • Bagikan

Oleh : T.H. Hari Sucahyo*

Gempa bumi yang baru saja melanda Myanmar dan Thailand bukan sekadar tragedi alam. Dalam banyak hal, ia menjadi pengingat betapa bencana dapat menjadi ujian bagi sebuah negara, bukan hanya dalam hal kesiapan teknis dan respons darurat, tetapi juga dalam bagaimana stabilitas politik memainkan peran kunci dalam proses penyelamatan dan pemulihan. Myanmar, yang tengah dilanda krisis politik berkepanjangan sejak kudeta militer tahun 2021, menghadapi tantangan berat dalam mengoordinasikan bantuan dan penyelamatan korban. Di sisi lain, Indonesia sebagai negara yang rawan bencana dapat belajar banyak dari pengalaman ini.

banner 336x280 banner 336x280

Di Myanmar, ketegangan politik telah memperburuk dampak bencana. Sejak junta militer mengambil alih kekuasaan, negara ini terjebak dalam konflik berkepanjangan antara rezim militer dan kelompok-kelompok pro-demokrasi. Akibatnya, sistem pemerintahan yang tidak stabil mempengaruhi respons terhadap bencana. Bantuan yang seharusnya cepat sampai kepada korban sering kali terhambat oleh kepentingan politik. Organisasi kemanusiaan menghadapi kesulitan dalam mendistribusikan bantuan di wilayah-wilayah tertentu karena adanya blokade dari militer atau konflik yang masih berlangsung. Keadaan ini memperpanjang penderitaan korban yang selamat dan meningkatkan jumlah kematian akibat keterlambatan pertolongan.

Dampak dari kegagalan koordinasi ini bisa terlihat dalam berbagai aspek. Pertama, banyak korban yang terjebak di reruntuhan lebih lama dari yang seharusnya karena minimnya upaya penyelamatan yang cepat dan efektif. Kedua, pasokan bantuan, termasuk makanan, obat-obatan, dan peralatan darurat, tertahan di beberapa titik akibat ketidaksepakatan antara pihak yang bertikai. Ketiga, layanan medis yang sudah terbatas semakin sulit diakses, mengingat banyak tenaga medis dan relawan yang enggan atau bahkan takut bekerja di zona konflik. Hal ini menjadikan gempa Myanmar bukan sekadar bencana alam, tetapi juga krisis kemanusiaan yang diperburuk oleh kondisi politik yang tidak kondusif.

Sebagai negara yang berada di lingkaran cincin api Pasifik, Indonesia memiliki sejarah panjang menghadapi bencana gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung berapi. Namun, satu hal yang membedakan Indonesia dengan Myanmar adalah stabilitas politik yang relatif lebih baik. Ketika tsunami Aceh terjadi pada 2004, meskipun ada konflik antara pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), kesepakatan damai yang kemudian tercapai memungkinkan rekonstruksi dan rehabilitasi berjalan lebih efektif. Ini menjadi bukti bahwa kestabilan politik berkontribusi besar dalam menghadapi bencana.

Meskipun lebih stabil dibandingkan Myanmar, Indonesia tetap memiliki tantangan dalam menghadapi bencana, terutama dalam hal koordinasi antarlembaga dan respons yang cepat. Kegagalan birokrasi sering kali memperlambat distribusi bantuan. Pada beberapa kasus, bantuan menumpuk di bandara atau gudang karena keterlambatan izin atau lambannya prosedur administrasi. Ini menunjukkan bahwa meskipun Indonesia memiliki sistem yang lebih baik dibanding Myanmar, masih ada banyak ruang untuk perbaikan, terutama dalam membangun sistem tanggap darurat yang lebih fleksibel dan efisien.
Indonesia juga perlu belajar dari kegagalan Myanmar dalam menjaga netralitas dalam situasi bencana. Di Myanmar, militer menggunakan bencana sebagai alat politik, baik untuk memperkuat kontrol terhadap masyarakat maupun untuk menekan kelompok-kelompok oposisi. Indonesia pun tidak sepenuhnya terbebas dari potensi politisasi bencana. Saat gempa dan tsunami melanda Palu serta Lombok, muncul berbagai laporan mengenai bagaimana distribusi bantuan lebih mengutamakan daerah atau kelompok tertentu yang memiliki kedekatan dengan pihak berkuasa. Jika hal ini terus dibiarkan, maka potensi bencana bisa menjadi alat politik yang memperdalam ketimpangan dan ketidakadilan sosial.

Pelajaran lain dari Myanmar yang perlu dicermati adalah pentingnya koordinasi antarlembaga. Di negara yang mengalami disfungsi pemerintahan akibat konflik berkepanjangan, koordinasi antara pemerintah, militer, organisasi kemanusiaan, dan masyarakat sipil menjadi sulit dilakukan. Hal ini menghambat respons cepat dalam menangani korban.

Indonesia, meskipun memiliki pengalaman lebih baik, masih kerap menghadapi masalah koordinasi dalam penanganan bencana. Bencana di Palu, misalnya, menunjukkan bahwa meskipun pemerintah pusat bergerak cepat, ada ketidaksinkronan dengan pemerintah daerah dalam menangani bantuan dan evakuasi korban. Belajar dari Myanmar, Indonesia perlu memperkuat mekanisme koordinasi nasional yang lebih terintegrasi dan fleksibel agar tidak terjebak dalam birokrasi yang menghambat pertolongan.

Isu transparansi dan akuntabilitas dalam penanganan bencana juga menjadi aspek penting. Dalam situasi krisis, aliran dana bantuan sering kali menjadi celah bagi korupsi dan penyalahgunaan. Di Myanmar, laporan tentang penyimpangan dana bantuan sudah menjadi isu yang berulang. Indonesia juga memiliki catatan buruk dalam pengelolaan bantuan bencana, seperti yang terjadi pascatsunami Aceh di mana sebagian dana bantuan dilaporkan tidak tersalurkan dengan baik. Oleh karena itu, mekanisme pengawasan dan transparansi harus diperkuat untuk memastikan bahwa bantuan benar-benar sampai kepada mereka yang membutuhkan.

Salah satu langkah yang bisa dilakukan Indonesia untuk menghindari situasi seperti Myanmar adalah dengan memperkuat kesiapsiagaan bencana yang melibatkan seluruh elemen masyarakat. Negara harus memastikan bahwa mitigasi bencana bukan hanya menjadi urusan pemerintah, tetapi juga bagian dari kesadaran publik. Peningkatan edukasi tentang mitigasi bencana, latihan tanggap darurat yang rutin, serta pemetaan risiko yang lebih akurat harus menjadi prioritas utama. Dengan demikian, ketika bencana terjadi, respons bisa lebih cepat, lebih terkoordinasi, dan lebih efektif.

Dalam konteks yang lebih luas, pengalaman Myanmar mengajarkan bahwa stabilitas politik dan demokrasi yang sehat merupakan faktor penting dalam penanganan bencana. Indonesia harus memastikan bahwa bencana tidak menjadi ajang eksploitasi politik dan bahwa pemerintah mampu bertindak cepat serta efektif tanpa terhambat oleh kepentingan golongan tertentu. Reformasi birokrasi dalam manajemen bencana, peningkatan koordinasi antarlembaga, serta komitmen pada transparansi dan akuntabilitas harus menjadi prioritas dalam menghadapi ancaman bencana yang mungkin terjadi di masa depan.

Pada akhirnya, bencana adalah peristiwa yang tidak dapat dicegah, tetapi dampaknya dapat diminimalkan jika negara memiliki sistem yang kuat, baik dalam hal kesiapan teknis maupun stabilitas politik. Myanmar telah memberikan gambaran bagaimana ketidakstabilan politik dapat memperparah penderitaan rakyat yang menjadi korban bencana. Indonesia harus belajar dari pengalaman ini dan memastikan bahwa dalam situasi darurat, kepentingan kemanusiaan selalu menjadi prioritas utama di atas segala bentuk pertimbangan politik.


*)Peminat Bidang Sosial, Politik, dan Humaniora, Penggagas Lingkar Studi Adiluhung dan Kelompok Studi Pusaka AgroPol Tinggal di Semarang

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner 336x280
Verified by MonsterInsights