Oleh: Ponirin Mika
Ketua Lakpesdam MWCNU Paiton dan Anggota Community of Critical Social Research Probolinggo
Setiap kali bangsa ini dihadapkan pada tirani kekuasaan, satu kelompok yang selalu ditunggu aksinya adalah mahasiswa. Bukan tanpa alasan. Mahasiswa memiliki rekam jejak historis sebagai penjaga nurani rakyat dan penjaga batas kekuasaan agar tak melampaui moralitas. Mereka adalah bara perlawanan yang menyala ketika rakyat mulai lesu dan harapan mulai pudar.
Oligarki kekuasaan, dalam berbagai bentuknya, selalu mencari cara untuk membungkam kritik dan meredam suara-suara yang menyakitkan telinga penguasa. Ketika lembaga formal lumpuh dan media disusupi kepentingan modal, mahasiswa menjadi kekuatan terakhir yang bisa diharapkan. Mereka tak terikat oleh kepentingan jabatan maupun transaksi kekuasaan. Yang mereka miliki hanya idealisme dan keberanian.
Namun menjadi mahasiswa bukan sekadar status akademik, melainkan mandat moral. Mandat yang tak diberikan oleh kampus, melainkan oleh sejarah dan oleh rakyat. Di tengah ketidakadilan yang terus dipelihara oleh segelintir elite, suara mahasiswa adalah harapan yang menggema. Kita tentu masih ingat, bagaimana mahasiswa menumbangkan Orde Lama, menggerogoti Orde Baru, dan mendorong Reformasi. Ketika semua pihak diam, mahasiswa menggugat.
Sayangnya, era reformasi yang semula dijanjikan sebagai gerbang keadilan justru membuka pintu baru bagi oligarki untuk bertransformasi. Para pemilik modal kini bukan hanya menjadi penyokong kekuasaan, tetapi juga menjadi pelaku politik itu sendiri. Kekuasaan dan uang bersatu, dan hasilnya adalah keputusan-keputusan yang makin jauh dari kepentingan rakyat.
Inilah saatnya mahasiswa kembali mengambil peran. Sebab demokrasi kita sedang dibajak. Ketika penguasa dan pengusaha duduk dalam satu meja untuk merancang masa depan tanpa rakyat, maka mahasiswa harus berdiri sebagai oposisi moral yang menyuarakan akal sehat. Jika tidak, maka bangsa ini akan terus dikendalikan oleh segelintir orang yang menganggap rakyat hanya angka dalam survei elektabilitas.
Gerakan mahasiswa sejati tidak muncul karena panggilan momentum, tetapi karena kesadaran historis dan kepedulian sosial. Mereka turun ke jalan bukan untuk eksistensi diri, tapi karena menyadari bahwa diam adalah bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita bangsa. Tentu mahasiswa tak harus selalu demonstrasi. Mereka bisa mengisi ruang-ruang diskusi, advokasi, hingga kampanye digital yang bermartabat. Namun sikap kritis adalah keniscayaan.
Mahasiswa hari ini memang menghadapi tantangan yang berbeda dari generasi sebelumnya. Mereka tak lagi melawan rezim otoriter tunggal, tetapi jaringan oligarki yang licik dan tersembunyi. Mereka tak sekadar menuntut reformasi politik, tetapi juga keadilan sosial, ekologis, dan digital. Maka, dibutuhkan kecerdasan, konsolidasi, dan keberanian yang lebih besar.
Kekhawatiran banyak orang terhadap melemahnya gerakan mahasiswa belakangan ini cukup beralasan. Tak sedikit yang memilih aman, nyaman, bahkan apatis. Tapi saya yakin, masih ada bara dalam sekam. Masih ada sekelompok mahasiswa yang sadar bahwa kampus bukan hanya tempat menimba ilmu, tetapi juga medan perjuangan. Kita hanya butuh satu percikan api untuk menyalakan kembali bara itu.
Mahasiswa tidak boleh terjebak dalam romantisme masa lalu, tetapi juga tak boleh kehilangan arah perjuangan. Mereka harus merumuskan ulang visi perjuangannya sesuai konteks zaman, dengan tetap berpijak pada nilai-nilai keadilan, keberpihakan kepada yang lemah, dan keberanian menolak yang salah meskipun mayoritas membenarkannya.
Masyarakat menitipkan harapan besar pada mahasiswa. Di pundak mereka, suara-suara sunyi dari desa-desa, pasar-pasar, pabrik-pabrik, dan pinggiran kota menitipkan pesan: jangan biarkan suara kami tenggelam. Jangan biarkan keadilan menjadi barang langka. Jangan biarkan negara ini dibeli oleh mereka yang punya banyak uang.
Saya tidak mengatakan bahwa semua mahasiswa harus turun ke jalan. Tapi semua mahasiswa harus punya sikap. Dalam situasi bangsa yang makin dikuasai oleh oligarki, netralitas bukan pilihan bijak, tapi bentuk pembiaran. Dan pembiaran adalah pintu masuk ketidakadilan yang lebih besar.
Tentu saja, perjuangan mahasiswa bukan tanpa risiko. Rezim bisa saja menekan, menstigma, bahkan memenjarakan. Tapi sejarah membuktikan, suara mahasiswa selalu menang pada akhirnya. Mungkin tidak langsung, tetapi selalu ada dampak yang ditinggalkan: kesadaran yang menyebar, keberanian yang tumbuh, dan gerakan yang tak bisa dihentikan.
Apa yang dibutuhkan mahasiswa saat ini bukan hanya keberanian, tetapi juga kecerdikan. Gerakan yang hanya emosional akan cepat padam. Sebaliknya, gerakan yang berbasis data, gagasan, dan strategi akan jauh lebih menggugah dan berkelanjutan.
Mari kita dukung mahasiswa yang masih percaya bahwa kejujuran adalah kekuatan, bahwa kebenaran layak diperjuangkan, dan bahwa sejarah selalu berpihak pada mereka yang berani bersuara. Bara itu masih ada. Dan selama mahasiswa tidak diam, oligarki tak akan pernah tenang.