Menghidupkan Sirah Nabawiyah: Menyalakan Spirit Kenabian di Tengah Krisis Peradaban

  • Bagikan

Oleh: Ponirin Mika
Ketua Lakpesdam MWCNU Paiton dan Anggota Community of Critical Social Research Probolinggo

Sirah Nabawiyah atau sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW bukan sekadar kisah masa lalu yang dibacakan di majelis-majelis atau pelajaran sekolah. Ia adalah sumber inspirasi hidup yang bisa menuntun umat Islam untuk menjalani kehidupan dengan arah dan makna yang jelas. Menghidupkan sirah berarti menghidupkan nilai-nilai Islam dalam bentuk yang nyata dan kontekstual dalam kehidupan sehari-hari.

banner 336x280 banner 336x280

Pentingnya sirah Nabawiyah terletak pada kemampuannya menggambarkan Islam bukan hanya sebagai ajaran yang bersifat ideal, tetapi juga sebagai sistem hidup yang membentuk peradaban. Ia menjadi bukti nyata bagaimana ajaran Islam diterapkan secara langsung dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya melalui pribadi Rasulullah SAW. Melalui sirah, kita melihat Islam bukan dalam ruang hampa, melainkan dalam dinamika masyarakat yang kompleks.

Rasulullah SAW diutus ke dunia dengan misi besar: membebaskan umat manusia dari kegelapan menuju cahaya, dari kesyirikan menuju tauhid, dari kezaliman menuju keadilan. Misi tersebut tidak hanya berbentuk dakwah verbal, tetapi juga diwujudkan dalam laku hidup, kebijakan, dan keputusan strategis dalam memimpin umat. Sirah menguraikan bagaimana Nabi menanamkan tauhid secara personal, membina keluarga dan masyarakat, hingga membangun struktur politik dan sosial dalam bentuk negara Madinah.

Menghadirkan kembali sirah Nabi dalam kehidupan modern sangat relevan mengingat krisis multidimensi yang dihadapi umat Islam hari ini: degradasi moral, ketimpangan sosial, perpecahan umat, dan ketidakadilan struktural. Dalam sirah, kita belajar bahwa Nabi tidak melawan kebatilan dengan kekerasan semata, tapi dengan akhlak, visi yang kuat, strategi yang matang, dan keikhlasan yang luar biasa. Spirit Nabi adalah spirit kasih sayang, rahmah, dan keadilan universal.

Nabi Muhammad SAW menjadi teladan dalam kesabaran menghadapi tekanan, dalam keberanian menyuarakan kebenaran, dan dalam kelembutan saat menyatukan perbedaan. Beliau menunjukkan bahwa menjadi pemimpin bukan soal dominasi, tetapi soal melayani. Beliau menambal sandal sendiri, mendengar suara sahabat, dan tidak segan memaafkan musuh-musuhnya. Dalam dunia yang penuh kebencian dan ketegangan, spirit semacam ini sangat dibutuhkan.

Kita juga melihat bahwa Rasulullah membangun masyarakat yang inklusif. Di Madinah, beliau merangkul berbagai golongan: kaum Muhajirin dan Anshar, bahkan Yahudi dan non-Muslim lainnya. Piagam Madinah yang beliau inisiasi menjadi model awal tata kelola masyarakat multikultural yang adil dan harmonis. Di tengah tantangan identitas dan intoleransi hari ini, nilai-nilai ini sangat layak untuk diteladani dan dikembangkan.

Sirah juga sarat dengan nilai-nilai pendidikan. Nabi membentuk umat dengan pendekatan tarbiyah (pembinaan) yang mengutamakan keteladanan, kesabaran, dan penumbuhan iman dari hati. Ia tidak memaksa orang untuk masuk Islam, tetapi membuka hati mereka dengan cinta, logika, dan teladan. Pendidikan hari ini butuh kembali pada ruh ini—mengutamakan karakter, bukan sekadar nilai akademik.

Dari aspek ekonomi, Nabi mencontohkan sistem yang berkeadilan, berpihak kepada kaum lemah, dan menolak eksploitasi. Ia melarang riba, memerintahkan zakat, dan mendorong sedekah serta infak sebagai sistem distribusi kekayaan yang berimbang. Prinsip ini seharusnya menjadi panduan dalam membangun ekonomi umat yang berkeadilan sosial.

Kepemimpinan Rasulullah adalah kepemimpinan berbasis akhlak. Bukan sekadar menguasai, tapi mengayomi. Tidak hanya memimpin dengan aturan, tapi dengan cinta dan keteladanan. Beliau selalu mengedepankan musyawarah, menerima kritik, dan bersikap terbuka. Sosok pemimpin seperti ini langka dan sangat dirindukan umat hari ini.

Di tengah masyarakat modern yang mengalami kekosongan makna, sirah menghadirkan arah hidup yang transenden. Hidup bukan hanya untuk dunia, tapi sebagai perjalanan menuju Allah. Spirit ini penting agar manusia tidak kehilangan arah dan tidak terjebak dalam rutinitas materialistik yang menyesatkan.

Banyak anak muda Muslim hari ini yang kehilangan panutan. Mereka lebih mengenal tokoh-tokoh selebritas daripada Rasulullah. Sirah perlu dihadirkan secara kreatif dan menyentuh agar generasi muda mengenal Nabi bukan hanya sebagai figur sejarah, tapi sebagai sosok yang bisa diteladani dalam kehidupan mereka hari ini.

Dalam dunia yang sarat teknologi, relasi antar manusia sering kering dan dingin. Nabi mengajarkan pentingnya relasi sosial yang hangat, penuh senyum, kasih sayang, dan empati. Ini adalah pelajaran adab yang sangat dibutuhkan dalam era komunikasi digital yang serba cepat namun minim kehangatan.

Menariknya, sirah juga menggambarkan sisi kemanusiaan Nabi. Beliau menangis, kecewa, bahkan merasa lelah. Namun, semua itu tidak menghalangi beliau untuk terus melangkah. Ini mengajarkan bahwa menjadi manusia biasa tidak berarti tidak bisa menjadi luar biasa. Justru di situlah letak keistimewaan beliau—menjadi manusia, tapi tetap terhubung dengan langit.

Menghidupkan sirah berarti membangkitkan semangat perjuangan. Nabi tidak hidup untuk kenyamanan pribadi, tetapi untuk perjuangan besar demi kemuliaan umat. Perjuangan yang mengajarkan arti pengorbanan, konsistensi, dan pengabdian. Ini adalah pelajaran penting bagi siapa pun yang ingin menapaki jalan dakwah dan pengabdian kepada masyarakat.

Sirah juga memberikan pelajaran penting tentang strategi dan kebijaksanaan. Nabi tidak pernah gegabah dalam bertindak. Beliau tahu kapan harus diam, kapan berbicara, kapan berkompromi, dan kapan bertindak tegas. Dalam menghadapi perbedaan pandangan atau konflik sosial, kita butuh kebijaksanaan yang semacam ini agar tidak terjebak dalam polarisasi yang merugikan.

Dengan menghidupkan sirah, kita bukan hanya mengenang sejarah, tapi melanjutkan perjuangan. Sirah bukan museum kisah-kisah masa lalu, tetapi peta jalan menuju masa depan. Ia adalah cahaya yang menuntun umat dalam setiap zaman, dengan kondisi sosial dan tantangan yang terus berubah.

Sirah harus menjadi ruh dalam setiap gerakan umat Islam—baik dalam dakwah, pendidikan, politik, maupun sosial. Tanpa ruh itu, kita hanya akan menjadi umat yang bergerak tanpa arah, berdakwah tanpa kedalaman, dan berpolitik tanpa adab.

Kesimpulannya, sirah Nabawiyah adalah sumber inspirasi yang tak pernah kering. Ia bukan sekadar sejarah yang dibaca, tetapi nilai yang harus dihidupkan. Di dalamnya ada cinta, perjuangan, pengorbanan, dan harapan. Sirah adalah cermin tempat kita bercermin dan cahaya yang terus memandu umat Islam menuju kebaikan, keadilan, dan kemuliaan sejati.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner 336x280
Verified by MonsterInsights