Non Muslim pun Bermaulid?

  • Bagikan

Pada peringatan maulid nabi Muhammad SAW itu semestinya tidak hanya sekedar melakukan seremonial teologis semata, melainkan harus mengungkap kembali qudwah yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW agar diteladani oleh manusia. Perayaan maulid dengan hanya menampilkan pernak-pernik itu telah membudaya pada masyarakat. Nyaris perbedaan mencolok pada perayaan maulid itu telah masyhur di mata masyarakat. Meskipun penggelaran masyarakat hanya untuk mempertahankan tradisi maulid dengan cukup sekedar memenuhi hajat, itu pula bentuk ungkapan mahabbahnya pada sang panutan ummat. Tradisi itu bisa dipahami sebagai salah satu wasilah ungkapan syukur dan mahabbah, maka hal demikian yang berlaku di tengah-tengah masyarakat tidak harus dipersalahkan.

Memang harus di akui dis orientasi perayaan maulid itu telah marak terjadi, akibatnya pelaksanaan maulid tidak membawa pada perubahan pribadi menuju kesalehan ritual dan kesalehan spritual.

banner 336x280 banner 336x280

Tidak keliru pada perayaan maulid bagi orang yang memiliki hajat untuk membahagiakan masyarakat yang di undang dengan banyaknya oleh-oleh berupa makanan dan sejenisnya. Tapi hal itu bukan dari tujuan utama.

Yang lebih utama adalah menghadirkan sosok teladan, panutan umat yaitu baginda nabi agar menjadi nafas pada setiap perilaku individu dan masyarakat.

Setidaknya pada perayaan maulid itu mencontoh beberapa perilaku nabi, diantaranya adalah; pertama: Nabi menjaga tutur katanya agar tidak menyakiti perasaan orang lain. Pada sebuah hadits beliau, ia mengungkapkan bahwa diam lebih utama daripada berbicara dan pembicaraan itu membawa kemudharatan bagi orang lain. Menjaga mulut agar tidak menyakiti hati dan perasaan merupakan salah satu perilaku terpuji nabi. Bahkan dari sangking pentingnya menjaga lisan itu Nabi menyatakan bahwa keselamatan seseorang tergantung bagaimana ia menjaga lisannya.

Kedua: Hidup berdamai dengan siapapun. Nabi adalah orang yang menghargai siapapun. Terlepas orang itu berbeda agama, suku, ras dan budaya. Perbedaan tidak menjadikan sebagai media untuk saling menghujat, apalagi dijadikan oleh nabi sebagai bahan untuk tidak menghargai. Nabi menyadari akan sebuah perbedaan itu merupakan sebuah anugerah Tuhan bagi hambanya. Kesadaran nabi berkait hal tersebut mengantarkan pada nabi untuk bersikap baik kepada siapapun. Itu pula nabi menunjukkan sebagai muslim kaffah bukan hanya muslim yang mencukupkan hanya di bibir saja. Ketiga: Menyantuni kepada orang lemah. Nabi sangat perhatian kepada orang yang lemah, baik lemah ekonomi maupun lemah fisik.

Banyak keterangan yang menginformasikan tentang kepribadian nabi saat bertemu dan berhadapan dengan orang yang lemah. Nabi rela menahan lapar dan dahaga hanya untuk memberikan bantuan kepada orang yang membutuhkan. Sifat terpuji beliau yang selalu memasukkan kebahagiaan kepada hati orang lain.

Seyogyanya bukan hanya itu saja. Nabi Muhammad adalah potret manusia ideal dan paripurna. Kesempurnaan sebagai seorang hamba tak disangsikan oleh golongan apapun dan juga agama apapun. Bahkan Michael Hart seorang penulis buku menulis tokoh berpengaruh di dunia. Ia menempatkan Nabi Muhammad sebagai nomer yang pertama.

Hakikatnya, siapapun yang melakukan kemaslahatan baik untuk dirinya dan orang lain. Memberikan keselamatan dan ketenangan bagi orang lain melalui tutur kata dan sikapnya. Mereka telah bermaulid.

Bermaulid itu bisa pula terjadi dan dilakukan oleh orang non muslim. Tentu saja maulid yang lebih mencontoh perilaku nabi. Karena maulid itu tak cukup hanya memperbesar giat seremonial semata, akan tetapi lebih-lebih menghidupkan perilaku nabi pada sendi-sendi kehidupan.


Oleh : Ponirin Mika| Ketua Lakpesdam MWCNU Paiton Probolinggo dan Anggota Community of Critical Social Research

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner 336x280
Verified by MonsterInsights