Upaya Mengatasi Pelecehan Seksual pada Perempuan

  • Bagikan
Ist

Pendahuluan

Kejahatan terhadap kesusilaan pada umumnya adalah perbuatan melawan kesusilaan, dengan sengaja melanggar kesopanan di tempat umum, atau dengan kata lain tidak kehendak korban dengan ancaman kekerasan. Menurut Tampi (2010). Kejahatan kesusilaan dan terhadap rumit, pelecehan seksual tidak mungkin dilihat dari perspektif mikro karena begitu mengganggu, dan merugikan masyarakat. Meneliti berbagai aspek kehidupan yang berpengaruh pada perilaku manusia

banner 336x280 banner 336x280

Menurut Sumera (2013) Pelecehan dalam hubungan antara pria dan wanita dianggap sebagai perilaku yang tidak pantas dan saling merugikan karena tidak menghargai martabat perempuan. Struktur sosial yang membeda-bedakan manusia atas dasar gender, tidak menghargai kemampuan manusia sebagai individu. Kejahatan kesusilaan ini juga tidak terjadi secara tiba-tiba melainkan akibat dari proses intimidasi yang awalnya dianggap biasa, akhirnya berujung pada kejahatan.

Pembahasan

Definisi Pelecehan Seksual

Menurut Badriana & Handoyo (2010) Perhatian seksual yang tidak pantas secara verbal dianggap sebagai pelecehan seksual, tertulis, atau secara fisik kepada seorang perempuan di manapun

untuk terlibat, tetapi harus diterima sebagai sesuatu yang dianggap “pantas”. Sebagaimana halnya pemerkosaan, pornografi, dan pelacuran. Berdasarkan penelitian pelecehan perempuan meningkat sejak tahun 1970-an, seksualitas dihadirkan sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan sehingga banyak perempuan merasa dirinya tidak berdaya dan terpaksa memaafkan tindak kekerasan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Farley (1978) menggunakan aspek perilaku untuk mendefinisikan pelecehan seksual sebagai penerimaan sepihak, kekerasan, terang-terangan, fisik, atau verbal, atau keduanya, rayuan seksual yang tidak diinginkan.

Bentuk Pelecehan Seksual

Berbeda dengan pelecehan seksual yang dialami perempuan di tempat umum, hal serupa yang dialami perempuan lain di tempat kerja menjadi persoalan tersendiri bagi perempuan yang terkena dampak. Mereka tidak hanya menghadapi masalah fisik dan mental, tetapi juga masalah keuangan, dan banyak risiko seperti pengangguran, kehilangan kesempatan promosi, dan kehilangan kenaikan gaji jika mereka melakukan aktivitas seksual dan menolak godaan atasan mereka.

Beberapa profesional (Gutek dan Morash, 1982; Sesuai Shreve dan Solitary (1986), dukungan seksual wanita di lingkungan kerja terletak pada cara mereka menemukan peran dari jenis mereka. Wanita akan menjadi sasaran pelecehan seksual saat peran kerja tidak diberikan perhatian yang layak, karena ia ingin dihargai karena peran pekerjaannya daripada orangnya.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pelecehan seksual dapat menimpa perempuan dari segala usia dan kelas sosial, tidak hanya pelakunya. Namun masalah tersebut sering disalahpahami sebagai dampak dan hanya ditanggung oleh mereka yang berada di kelas sosial ekonomi bawah. Kenyataannya, segala bentuk kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di kelas menengah ke atas sangat sulit dideteksi karena sempitnya dinding yang memisahkan kelompok ini.

Dalam buku Women, Violence and Social Control (1987), Elise Boulding berpendapat bahwa perilaku kekerasan terkait dengan institusi sosial yang diatur sedemikian rupa sehingga memberikan pola struktural bagi sistem keluarga, ekonomi, budaya, dan politik. Dimana semua ini menunjukkan bahwa beberapa individu harus melakukan pengorbanan untuk mendapatkan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat. Secara alami pelecehan seksual yang dialami perempuan tidak dianggap sebagai kekerasan. Sosialisasi yang sangat kuat tentang perempuan “ideal” yang seharusnya menjadi seorang istri dan ibu menyebabkan perempuan menerima pelecehan seksual tanpa berpikir akan merugikan mereka. Perempuan disosialisasikan untuk menarik lawan jenis melalui karakteristik seksualnya.

Cara Mengatasi Pelecehan Seksual

Merebaknya eksploitasi seksual sebagai materi pornografi di masyarakat juga telah menyebabkan peningkatan asusila dan pencabulan, dan yang menjadi perhatian utama adalah peningkatan kejahatan seksual, tidak hanya di kalangan perempuan dewasa, tetapi juga di kalangan anak di bawah umur.

Sebagai sarana memerangi tingginya angka kekerasan terhadap perempuan saat ini, pelatihan asertif atau percaya diri perlu dilakukan dan juga diberikan kepada para korban. Pelatihan ini memiliki beberapa manfaat, salah satunya adalah mengurangi jumlah korban yang takut melaporkan kekerasan dan mengajukan pengaduan atas hak mereka atas keadilan. Empati mengacu pada kemampuan untuk menyampaikan kepada orang lain apa yang diinginkan dan dipikirkan seseorang, sambil melindungi dan memperhatikan perasaan orang lain. (Stein & Book, 2004).

Strategi perilaku yang digunakan untuk meningkatkan hak mereka adalah pelatihan asertif. Korban menerima pelatihan asertif untuk lebih memperjelas prinsip-prinsip perilaku, seperti pertimbangan kebutuhan orang lain dan kebutuhan untuk melakukannya sepenuhnya, terbuka, dan tanpa khawatir dihakimi atau disalahkan. Akibatnya, mengurangi insiden kekerasan seksual membutuhkan perempuan lebih banyak kekuatan dan membuatnya lebih mudah untuk bertindak dengan percaya diri. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa wanita dengan kepercayaan diri dapat meningkatkan harga diri dan rasa hormat serta mengurangi dan menghilangkan kecemasan. (Alberti & Emmons, 2002).

Penutup

Mengenai kekerasan seksual, banyak faktor yang dapat berdampak negatif bagi korban kekerasan seksual terhadap perempuan, meskipun kesalahpahaman umum bahwa itu hanya terkait dengan faktor pribadi dan bukan fenomena sosial atau budaya. Efek buruk yang diterima dari kekerasan seksual terhubung secara langsung dan mengancam korban.

Perempuan korban kekerasan dapat tertular HIV/AIDS, bunuh diri, atau meninggal dunia. Pelecehan seksual juga berdampak pada penyakit fisik, penyakit kronis, gangguan kesehatan mental, dan masalah kesehatan reproduksi. Perempuan memang masih memiliki risiko tinggi menjadi korban berbagai bentuk kekerasan; selain itu, kekerasan telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, dan banyak orang percaya bahwa itu normal.

Perempuan yang seharusnya dihormati dan dilindungi, justru menjadi sasaran kekerasan orang lain. Kekerasan seksual terhadap perempuan akan berkurang sebagai hasil dari pelatihan asertif karena peserta akan dapat mengekspresikan ketidaksenangannya dengan tindakan orang lain tanpa membuat mereka merasa dirugikan atau bertindak di luar karakter. Selain itu, pelatihan asertif mendorong korban untuk melaporkan pelecehan seksual sesuai dengan timeline kejadian sebenarnya untuk mempercepat pengungkapan kasus yang ada.


Oleh: Nisyya Salsabilah Mahasiswa Teknik Industri Universitas Muhammadiyah Malang

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner 336x280
Verified by MonsterInsights