Oleh: Ali Mursyid Azisi*
Bulan pertama pada tahun 2025 akan segera berakhir. Terlepas dari isu-isu nasional atau kenegaraan yang tengah ribut diperdebatkan publik, terdapat isu fundamental yang tidak boleh terlewatkan, yaitu peran sentral pesantren di berbagai ruang sosial. Terlepas pula dari stigma kekerasan maupun pelanggaran seksual pada pesantren yang dewasa ini menjadi kajian serius, terdapat PR lain bangsa ini untuk terus melahirkan insan moderat dan berkontribusi menciptakan kehidupan harmoni negara.
Diskusi tentang moderasi beragama di Indonesia dewasa ini menjadi bahan kajian yang menarik dan selalu mendapat penyegaran. Istilah moderat lekat diartikan wasathiyah (tengah-tengah). Artinya, mengambil jalan tengah dalam urusan agama yang lebih dinamis, toleran, dan mengutamakan cinta kasih. Di berbagai forum akademik maupun kepesantrenan, topik ini selalu menarik untuk digaungkan mengingat tantangan zaman yang kian berkembang.
Maka, tugas utama akademisi muslim, Kiai (Ulama), dan pegiat keislaman selalu hadir dalam mengawal nilai-nilai moderasi di berbagai sudut sosial. Sebab, tentram atau tidaknya kehidupan bermasyarakat tergantung pola keberagamaan yang dianutnya. Harmonis atau tidaknya hubungan sosial pun tergantung sikap individu yang terbuka atau justru sebaliknya.
Sebagaimana kita pahami seksama dalam berbagai literatur Islam, bahwa Islam hadir bukan hanya untuk urusan ibadah mahdhah, namun juga mendidik manusia juga bijak dalam bersosial. Untuk mencapai kemaslahatan, keselamatan, ketentraman hingga kedamaian dalam hal ini adalah mendidik generasi moderat di masa depan. Di Indonesia, institusi pendidikan yang sangat cocok dalam membentuk calon penerus Kiai maupun cendekiawan moderat adalah Pesantren.
Pesantren identik dipahami sebagai lembaga pendidikan Islam yang lekat dengan pembelajaran agama di Indonesia. Prof. Ridwan Nasir, memaknai pesantren sebagai institusi keagamaan yang di dalamnya memuat pendidikan, pengajaran, mengembangkan serta menyebarkan ilmu agama Islam. Dari sekian definisi tentang pesantren, tidak lepas dari karakteristiknya sebgaai warisan dari para Walisanga yang turun-temurun mencetak calon Kiai dan cendekiawan besar.
Salah satu pesantren yang selalu mengedukasi dan menguatkan fondasi menjadi insan moderat adalah Pesantren Luhur Al-Husna, yang bertempat di Wonocolo, Kota Surabaya. Di bawah asuhan Prof. Dr. KH. Ali Maschan Moesa, M.Si yang pernah memimpin Nahdlatul Ulama Jawa Timur (1999-2007) dan Guru Besar UIN Sunan Ampel, pesantren ini telah banyak berkontribusi dalam mencetak santri moderat di lingkup Jawa Timur.
Melihat latar belakang Kiai Ali Maschan Moesa yang lahir dari kalangan Nahdliyin dan pesantren, maka lekat dengan identitasnya yang istiqamah mengaji kitab kuning. Identitas maupun kebiasaan yang melekat pada diri Kiai NU adalah istiqamah pula dalam mengamalkan tawasul, tahlil dan tahlil yang bagi golongan ektrem dinilai bid’ah.
Selama pernah mengaji bersama Kiai Ali, kalimat yang sering didawuhkan kurang lebih begini “Islam itu membawa keselamatan, di dunia dan akhirat, maka cara mendakwahkannya bi al-hikmah, bukan dengan kekerasan”. Atau juga kalimat lain tentang perlunya menjaga habl min allah, habl min al-nass maupun habl min al-alam yaitu, “wa maa arsalnaaka rahmatan lil ‘alamin, bukan marahtan lil ‘alamin”.
Pesan beliau, pada dasarnya sebagian besar isi kandungan al-Qur’an mengatur hubungan sosial dan segala aktivitas keseharian manusia. Seperti halnya penggalan ayat di atas, kewajiban umat muslim adalah berbuat kebajikan kepada seluruh alam, tidak hanya pada manusia, melainkan juga pada lingkungan (alam). Bukan “marahtan”, artinya mereka yang suka marah-marah dan melegalkan kekerasan dengan mengatasnamakan membela Islam.
Gaya mendidik Kiai Ali Maschan terbilang unik dan menjadi teladan bagi para santrinya. Terlebih dalam hal urusan bagaimana seharusnya menjadi muslim yang cerdas, kontekstual, dan penuh rasa kasih sayang terhadap pemeluk agama lain. Setidaknya ada tiga poin penting pesan beliau untuk menjadi insan moderat;
Pertama, implementasikan intisari “rahmatan lil ‘alamin”, artinya dengan memahami pesan tersirat maupun tersurat dalam penggalan ayat tersebut nantinya kita tidak mudah menyalahkan orang lain, memandang perbedaan sebagai anugerah, dan menebar kasih sayang terhadap siapapun. Karena sejaatinya muara utama dari dalil-dalil teks agama berakhir pada hubungan sosial.
Kedua, kontekstual dalam memahami ayat. Acap kali ketika ngaos beliau selalu mengulang-ulang cerita bagaimana banyak golongan yang melegalkan kekerasan dengan mengatasnamakan bela Islam. Padahal demikian tidak dibenarkan dalam intisari Islam sendiri. Bahwa Islam pada prinsipnya diciptakan untuk menyempurnakan akhlak.
Ketiga, jangan takut berdialog dengan pemeluk agama lain. Demikian juga dicontohkan oleh Kiai Ali dalam rangka merawat harmoni beragama khususnya di Surabaya. Mengingat beliau juga aktif dalam Forum Lintas Agama Jawa Timur, maka demikian selaras dengan prinsip poin “a” di atas. Bahkan beberapa kali para santri Pesantren Luhur Al-Husna terlibat berdialog dengan pemeluk Kristiani di Surabaya. Pernah juga seorang Kristiani pun juga menginap di Pesantren Al-Husna sebagaimana para santri dan mengikuti kajian kitab Tafsir Munir ba’da subuh bersama Kiai Ali Maschan.
Dalam upaya membentuk karakter para santrinya yang moderat. Cara dakwah beliau seperti pada umumnya para Kiai disampaikan secara lisan (bi lisan/ucapan) atau ungkapan secara langsung dengan tutur kata yang lembut dan sesekali diselingi humor. Dengan membacakan teks-teks keislaman yang terangkum dalam kitab, lalu disampaikan dengan penjelasan yang rinci beserta contoh-contoh yang mudah dipahami.
Sebagai contoh untuk para santrinya, Kiai Ali Maschan juga menulis beberapa buku sebagai penguat ideologi kebangsaan dan pemahaman Islam ahlussunnah waljamaah. Diantaranya adalah “NKRI Harga Mati” dan “Pengantar Ahlussunnah Waljamaah”, dimana keduanya ditujukan untuk sebagai pondasi pemahaman berislam secara cerdas dan kontekstual, bahkan dalam urusan bernegara.
Oleh karenanya, partisipasi Pesantren Luhur Al-Husna Surabaya dalam upaya mencetak generasi muda yang moderat begitu berpengaruh di Surbaya. Terlebih sosok Kiai Ali Machan Moesa juga memiliki keluasan ilmu dan keberaniannya dalam menentang siapa saja yang ingin merusak NKRI. Maka dari itu seperti yang dikatakan oleh Khaled Abou El-Fadl dalam bukunya yang bertajuk “The Place Tolerance in Islam” bahwa, sejatinya Islam mampu menerapkan dan menempatkan tek-teks keislaman sesuai dengan konteks zaman. Nantinya, akan terhindar dari paham ekstremis, radikalis, bahkan jaringan teroris-konflik layaknya di Timur-Tengah yang hingga kini belum surut.
*) Peneliti, Cendekiawan Muda NU, Pengurus PW LTN NU Jatim 2024-2029, Anggota Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation.