Dr. Endang Sholihatin, S.Pd., M.Pd.
Koordinator Prodi S-1 Linguistik Indonesia, UPN “Veteran” Jawa Timur
“Jangan pernah meremehkan kekuatan kata-kata. Satu kalimat bisa menyulut perang, tapi juga bisa menyatukan bangsa.”
— BJ Habibie, Presiden ke-3 RI
(Sumber: Pidato BJ Habibie dalam Kongres Bahasa Indonesia VII, Jakarta, 2008)
Di era digital saat ini, kejahatan tak lagi terbatas pada tindak kekerasan fisik. Menurut laporan dari Kominfo, hingga 2023 terdapat lebih dari 11.000 kasus ujaran kebencian dan pencemaran nama baik yang dilaporkan melalui platform media sosial. Hal ini menjadi sinyal bahwa bahasa telah menjadi alat baru dalam melakukan kejahatan—melalui teks, ujaran, dan simbol yang memuat kebencian, fitnah, provokasi, dan bentuk manipulasi lainnya.
Dalam konteks ini, linguistik forensik hadir sebagai bidang ilmu yang menjembatani antara kebahasaan dan hukum, serta menjadi alat bantu vital dalam penyelesaian berbagai kasus hukum. Sebagaimana dinyatakan oleh Solan dan Tiersma (2005), tidak semua kejahatan bersifat fisik—banyak pula yang dilakukan dengan bahasa.
Kejahatan Berbahasa: Senyap Tapi Menghancurkan
Menurut KBBI, kejahatan adalah tindakan yang melawan hukum dan dapat dikenai sanksi. Jika ditinjau dari sisi bahasa, maka kejahatan berbahasa adalah perilaku menyimpang secara verbal yang bertentangan dengan hukum atau norma sosial.
Contoh konkret dari kejahatan ini bisa ditemukan dalam kasus Veronica Koman, yang dilaporkan karena menyebarkan ujaran provokatif melalui media sosial terkait isu Papua. Tak hanya itu, fenomena seperti cyberbullying, penyebaran hoaks, hingga manipulasi teks kontrak dalam bisnis juga masuk dalam kategori ini.
Data dari Antaranews menunjukkan bahwa kasus-kasus provokasi politik, khususnya menjelang tahun politik seperti Pilpres atau Pilkada, meningkat signifikan hingga 30% dibandingkan tahun non-pemilu. Bahasa menjadi alat propaganda, sekaligus senjata untuk menyerang reputasi lawan.
Linguistik Forensik: Ilmu Bahasa Bertarung di Meja Hukum
Linguistik forensik adalah kajian ilmiah bahasa dalam konteks hukum. Tujuannya adalah untuk membantu penegak hukum memecahkan masalah berdasarkan analisis kebahasaan, mulai dari analisis teks, gaya penulisan, hingga penggunaan kosakata.
Kasus sengketa musang4d merek dagang antara McDonald’s dan Quality Inns pada 1987 menunjukkan betapa krusialnya peran ahli bahasa. Quality Inns hendak menamai jaringan hotel barunya dengan nama “McSleep Inns”, namun McDonald’s menggugat karena merasa memiliki hak eksklusif atas awalan “Mc-”. Ahli linguistik forensik membantu hakim menilai kemungkinan kebingungan masyarakat atas kemiripan nama. Hasilnya, McDonald’s menang, dan Quality Inns harus mengganti nama.
Hak Cipta: Ketika Kata Menjadi Properti
Menurut UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, karya tulis, ceramah, lagu, gambar, hingga video merupakan objek yang dapat dilindungi hukum. Dalam kasus pelanggaran hak cipta, seperti kasus Warkopi yang dianggap menjiplak Warung Kopi DKI, bahasa menjadi alat komersial yang bernilai hukum.
Peran linguistik forensik dalam hal ini adalah membuktikan apakah terjadi penjiplakan struktur, gaya bahasa, atau konten yang dilindungi. Analisis ini membutuhkan ketelitian tinggi, karena satu kata atau frasa dapat berimplikasi hukum bila digunakan tanpa izin dalam konteks komersial.
MOU/Kontrak: Bahasa Formal yang Tidak Bisa Salah Tafsir
Di ranah bisnis, kontrak kerja, MOU, atau implementation agreement sering menjadi sumber sengketa akibat ambiguitas bahasa. Dalam dunia hukum, satu frasa yang tidak tepat bisa menimbulkan kerugian miliaran rupiah.
Linguistik forensik di sini bertindak sebagai alat bantu untuk menelusuri niat awal para pihak, serta menilamultitafsir dan ketepatan terminologi. Penyusunan kontrak kini tidak hanya memerlukan penasihat hukum, tetapi juga dukungan ahli bahasa agar tidak multitafsir.
Era VUCA dan Kejahatan Berbahasa yang Kian Rumit
Kita hidup dalam era VUCA—Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity. Dunia berubah cepat, tidak pasti, kompleks, dan serba kabur. Bahasa pun ikut bertransformasi dalam situasi yang ambigu ini.
Kemajuan teknologi mempercepat penyebaran ujaran berbahaya. Satu twit bisa memicu kerusuhan, satu caption bisa menjatuhkan reputasi. Inilah era di mana kebenaran sangat subjektif, dan bahasa menjadi alat yang tajam.
Menurut data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, terdapat lebih dari 500 juta unggahan konten setiap harinya di berbagai platform digital, dan sebagian kecil diKerafranya terbukti mengandung ujaran kebencian, fitnah, atau hoaks.
Dari Alat Pemersatu Menjadi Alat Penghasut?
Keraf naskah Sumpah Pemuda tahun 1928, disebutkan bahwa kita menjunjung tinggi bahasa persatuan, yaitu Bahasa Indonesia. Keraf (1997) menegaskan, bahasa adalah alat integrasi, bukan alat disintegrasi.
Namun realitas saat ini memprihatinkan. Kata-kata kasar, umpatan, dan fitnah kini mudah ditemui di ruang publik digital. Kejahatan berbahasa telah menyusup ke ruang keluarga, pendidikan, bahkan ke institusi negara.
Contoh ujaran seperti “anjing kamu”, “goblok lu”, “ibumu pelacur”—yang tersebar luas dalam pesan teks dan media sosial—tidak hanya melukai perasaan, tapi bisa menjadi bahan perkara hukum jika terbukti merusak nama baik seseorang.
Mengedukasi dan Mewaspadai Bahasa
Linguistik forensik bukan sekadar teori, melainkan alat nyata untuk menjaga keadilan. Masyarakat perlu lebih sadar bahwa setiap kata yang diucapkan atau ditulis memiliki konsekuensi hukum.
Pendidikan kebahasaan kini harus mencakup etika komunikasi digital. Institusi pendidikan, media, dan masyarakat harus bersama-sama membangun kesadaran bahwa bahasa bukan hanya alat ekspresi, tapi juga alat pertanggungjawaban.
Dalam dunia yang serba digital, cepat, dan bising ini, kata-kata bisa menyelamatkan, tapi juga bisa menghancurkan. Maka, berpikirlah sebelum berbicara. Verifikasilah sebelum menyebar. Dan belajarlah dari ilmu linguistik forensik—ilmu yang tidak hanya mengurai kata, tapi juga menegakkan keadilan.
*) Sebagian materi dalam artikel ini disampaikan dalam Seminar Nasional Linguistik Indonesia (SENALA) 29 Oktober 2024. Ditulis ulang untuk tujuan pendidikan.