Demokrasi dan Pemilu
Secara harfiah istilah demokrasi berasal dari Bahasa yunani “demokratia” yang terdiri dari dua kata yaitu demos yang artinya rakyat dan kratos/kratein yang berarti kekuasaan/pemerintahan. Demokrasi merupakan kekuasaan rakyat, sebagaimana istilah umum yaitu “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Demokrasi atau suatu bentuk pemerintahan dengan rakyat sebagai pemegang kedaulatannya, yang di implementasikan melalui pemilihan umum secara langsung. Melalui konteks budaya demokrasi, nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi panutan dapat diterapkan dalam praktik kehidupan demokratis yang tidak hanya dalam pengertian politik saja, tetapi juga dalam bidang kehidupan yang lain.
Demokrasi sebagai budaya merupakan penghayatan nilai-nilai demokrasi yang telah menjadi kebiasaan diantara warga negara dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bernegara. Kebudayaan demokrasi di Indonesia salah satunya terwujud dalam agenda 5 (lima) tahunan berupa pemilihan umum dalam rangka memilih pemimpin yang akan menduduki jabatan politik strategis tertentu didalam lembaga-lembaga politik formal yakni, lembaga eksekutif dan lembaga legislatif baik ditingkat daerah maupun di tingkat pusat. Pemilihan pemimpin tersebut merupakan ejawantah dari kedaulatan rakyat, yang dalam praktiknya rakyat membutuhkan perwakilan dalam mengurus dan mengelola negara dalam jangka waktu tertentu.
Pemilihan umum merupakan gambaran ideal bagi suatu pemerintahan demokrasi di zaman modern. Pemilihan umum memiliki andil signifikan yang mengindikasikan suatu negara menganut sistem politik demokratis, dan merupakan konsekuensi logis dianutnya prinsip demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ditinjau dari fungsinya, pemilu merupakan instrument demokrasi yang memiliki fungsi, pertama, menempatkan rakyat sebagai penguasa tertinggi dalam suatu sistem pemerintahan sehingga pemilu merupakan tolok ukur dan media filter bagi kehendak rakyat. Konsekuensi kehendak ini menjadikan wakil-wakil rakyat yang terpilih tidak hanya mewakili konstituen pemilih mereka saja, namun mereka memiliki tanggung jawab untuk mewakili kepentingan masyarakat luas dan bukan segelintir pihak. Kedua, pemilu merupakan sarana pembentuk arah kebijakan, pendistribusian kekuasaan dan sumberdaya pemerintahan suatu rezim. Oleh sebab itu, negara yang demokratis adalah negara yang mampu mengedepankan dua fungsi pemilihan umum tersebut.
Prinsip dasar kehidupan kenegaraan yang demokratis adalah setiap warga negara berhak ikut aktif dalam proses politik. tingginya tingkat partisipasi menunjukkan bahwa warga mengikuti dan memahami masalah politik dan ingin melibatkan diri dalam kegiatan itu, tingginya tingkat partisipasi juga menunjukkan bahwa rezim yang sedang berkuasa memiliki keabsahan yang tinggi. Dan sebaliknya, rendahnya partisipasi politik di suatu Negara dianggap kurang baik karena menunjukkan rendahnya perhatian warga terhadap masalah politik, selain itu rendahnya partisipasi politik juga menunjukkan lemahnya legitimasi dari rezim yang sedang berkuasa.
Pemilu di Indonesia
Pemilihan umum merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilu dilaksanakan oleh negara Indonesia dalam mewujudkan kedaulatan rakyat sekaligus menerapkan prinsip-prinsip atau nilai-nilai demokrasi. Di dalam Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur tentang asas-asas pemilu yang dianut di Indonesia yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Yang dimaksud langsung adalah berarti masyarakat sebagai pemilih memiliki hak untuk memilih secara langsung dalam pemilihan umum sesuai dengan keinginan diri sendiri tanpa ada perantara. Yang dimaksud umum adalah pemilihan umum berlaku untuk seluruh warga negara yang memenuhi persyaratan, tanpa membeda-bedakan agama, suku, ras, jenis kelamin, golongan, pekerjaan, kedaerahan, dan status sosial yang lain. Bebas, berarti seluruh warga negara yang memenuhi persyaratan sebagai pemilih pada pemilihan umum, bebas menentukan siapa saja yang akan dicoblos untuk membawa aspirasinya tanpa ada tekanan dan paksaan dari siapa pun. Rahasia, berarti dalam menentukan pilihannya, pemilih dijamin kerahasiaan pilihannya. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapa pun suaranya diberikan. Jujur, berarti semua pihak yang terkait dengan pemilu harus bertindak dan juga bersikap jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan Adil, berarti dalam pelaksanaan pemilu, setiap pemilih dan peserta pemilihan umum mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun.
Pemilu pertama di Indonesia diselenggarakan pada Tahun 1955 dan dilaksanakan setiap lima tahun sekali yaitu pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009 dan 2014. Rangkaian pelaksanaan pemilu tersebut, secara perlahan mampu membawa Indonesia menuju kematangan dalam berpolitik dan berdemokrasi. Namun, hingga saat ini masih terdapat kekurangan yang menjadi kendala utama, diantaranya tentang sistem kepartaian dan sistem pemilu yang mengakibatkan peraturan penyelenggaraan dibuat menjelang penyelenggaraan pemilu berlangsung. Hal tersebut berdampak pada kurang maksimalnya penyelenggaraan pemilu sebagai sarana perwujudan demokrasi substansial.
Evaluasi Penyelenggara Pemilu
Di dalam ketentuan Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Komisi Pemilihan Umum merupakan penyelenggara pemilu yang sangat berperan signifikan dalam mengimplementasikan gagasan demokrasi prosedural substantif. Secara normatif, penyelenggara Pemilu ialah lembaga-lembaga yang disebut dalam peraturan-perundang-undangan untuk menyelenggarakan Pemilu. Adapun yang dimaksud penyelenggaraan Pemilu ialah pelaksanaan tahapan Pemilu yang dilaksanakan oleh penyelenggara Pemilu. Oleh karena itu, lazim apabila sebagian pakar hukum tata negara menyebut penyelenggara Pemilu merupakan nahkoda dari Pemilu yang menentukan bagaimana dan ke arah mana Pemilu akan berlabuh.
Menurut Administration and Cost of Elections (ACE) Project terdapat 7 prinsip dasar yang menjadi acuan utama penyelenggara dalam mengelola pemilu. Pertama, independensi; sebuah prinsip yang menegaskan posisi penyelenggara yang tidak memiliki hubungan langsung dengan pihak eksekutif ataupun pihak yang berkepentingan dalam politik praktis. Kedua, imparsialitas; penyelenggara pemilu haruslah menunjukkan sikap dan perilaku yang adil dan setara kepada semua pihak yang terlibat dalam pemilu.
Ketiga, integritas; penyelenggara pemilu memiliki sikap integritas jika ditopang oleh kemandiriannya yang penuh dalam melakukan kontrol semua proses pemilu, termasuk penetapan sanksi terhadap pelanggaran yang terjadi. Keempat, transparansi; penyelenggara harus menunjukkan sikap transparansi untuk menghindari segala prasangka dan kecurigaan terhadap proses pemilu yang cenderung penuh intrik kepentingan politik.
Kelima, efisiensi; penyelenggara juga harus mempertimbangkan aspek efisiensi dana publik dalam penyelenggaraan pemilu. Keenam, profesional; semua staf penyelenggara pemilu dapat melakukan pekerjaannya dengan baik berdasarkan keahlian dan kompetensi yang dimiliki. Sikap profesionalitas ini juga menjadi penting agar penyelenggara mendapat kredit pujian dari pihak-pihak yang selalu memantau penyelenggaraan pemilu. Ketujuh, berorientasi pelayanan; penyelenggara pemilu dapat membangun sebuah skema standar pelayanan dalam setiap tahapan pemilu yang nantinya dapat berkontribusi terhadap kepercayaan publik dalam penyelenggaraan pemilu.
Berdasarkan UUD 1945 pasca amandemen keempat, penyelenggaraan pemilu dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam upaya realisasi atas Negara hukum yang berkedaulatan rakyat. Suatu komisi Negara dikatakan profesional dan independen harus memenuhi tiga aspek yaitu, berkaitan dengan posisi kelembagaan, pola dan sistem rekrutmen anggota dan pimpinan lembaga Negara, serta anggaran lembaga Negara yang bersangkutan sehingga kualitas, profesionalitas dan independensi komisi Negara, termasuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus memenuhi kriteria di atas.
Kriteria yang menjadi pertimbangan penting adalah pola rekrutmen keanggotaan Komisi Pemilihan Umum (KPU), karena di tangan penyelenggara yang berintegritas akan melahirkan pejabat atau pemimpin yang berintegritas pula. Tidak seperti rekrutmen anggota KPU pada periode 1999-2003 yang merupakan perwakilan dari partai politik dan pemerintah yang sarat terjadi konflik kepentingan dalam mengelola tahapan dan mengambil keputusan, keanggotaan KPU saat ini terdiri dari berbagai unsur masyarakat professional non partisan yang merupakan salah satu bentuk jawaban terhadap kualitas dan integritas sekaligus penjaga etika dan moralitas penyelenggaraan pemilu, sehingga dalam sistem rekrutmen perlu diperkuat melalui mekanisme tata cara seleksi dan aturan kelembagaan. Dengan demikian akan memicu tingkat kepercayaan publik untuk turut serta aktif dalam mengawal proses penyelenggaraan pemilihan umum.
Pemilu yang Berintegritas
Pemilu yang berintegritas merupakan esensi yang absolut untuk memperkokoh tegaknya demokrasi di suatu negara, oleh sebab itu elemen yang terlibat di dalamnya baik penyelenggara maupun peserta seharusnya tunduk dan patuh pada nilai-nilai moral dan etika kepemiluan. Pemilu yang berintegritas dilaksanakan sebagai upaya menjunjung tinggi sekaligus menegakkan hak asasi manusia dan prinsip demokrasi. Pemilu berintegritas dalam penyelenggaraannya didasarkan pada prinsip jujur, adil, langsung, umum, bebas dan rahasia. Tingginya partisipasi politik dan kepercayaan publik merupakan indikator terwujudnya negara demokratis, sehingga apabila pemilu tidak dilaksanakan dengan basis integritas, maka berpotensi melahirkan penyelenggara pemilu yang tidak bertanggung jawab.
Sejak penyelenggaraan pemilu pertama di Indonesia tahun 1955, upaya menghadirkan pemilu berkualitas dan berintegritas telah dimulai, dan dalam pelaksanaanya senatiasa terdapat perbaikan-perbaikan khususnya penguatan terhadap kelembagaan dan ketentuan peraturan. Di samping Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mempunyai tugas menyelenggarakan pemilu, terdapat lembaga Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Bawaslu dalam salah tugasnya ialah menegakkan integritas pemilu. Sedangkan DKPP dibentuk dalam rangka untuk menjaga kemandirian, integritas, dan kredibilitas penyelenggara pemilu. Hadirnya Bawaslu dan DKPP tersebut sekaligus menjadi salah satu bukti bahwa Indonesia telah berkomitmen untuk menerapkan integritas pemilu.
Terkait peraturan, bahwa saat ini terdapat beberapa peraturan yang mengatur guna mewujudkan integritas pemilu. Dari mulai UU Nomor 7 Tahun 2017 hingga Peraturan teknis lainnya yang mengatur detail terkait apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan baik bagi komisioner penyelenggara maupun kepada peserta pemilu.
Dua hal diatas pada prinsipnya saat ini sudah memadai sebagai instrument penyelenggaraan pemilu yang berintegritas namun dalam perjalanannya tidak berjalan ideal, tantangan yang dihadapi diantaranya adalah maraknya politik uang, birokrasi yang tidak independen dan penyelenggara pemilu yang berafiliasi pada kekuatan politik, adanya mahar politik, berita hoaks yang bertebaran. Oleh sebab itu, diperlukan upaya-upaya untuk menjaga penyelenggaraan pemilu berintegritas.
Pertama, bahwa KPU harus konsisten memegang teguh profesionalitas dan integritas dalam menjalankan tugas dengan menjaga independensi yang menegaskan posisi KPU tidak memiliki hubungan langsung dengan pihak eksekutif ataupun pihak yang berkepentingan dalam politik praktis. Selain itu KPU harus memegang asas imparsialitas yang menunjukkan sikap dan perilaku adil dan setara kepada semua pihak yang terlibat dalam pemilu.
Kedua, memaksimalkan pengawasan partisipatif dengan melibatkan rakyat dalam mengawal maupun mengawasi jalannya tahapan pemilu. Proses pengawasan yang dapat mendorong kepedulian dan rasa tanggung jawab publik diwujudkan melalui keterbukaan informasi publik, dimana masyarakat dapat mengawasi secara langsung melalui sistem informasi data berbasis teknologi. Seperti publikasi daftar calon sementara anggota DPR dan DPD, publikasi tentang perkembangan perhitungan rekapitulasi suara di hingga ke TPS.
Ketiga, memperkuat regulasi dan teknis pengelolaan data pemilih berbasis sistem informasi yang yang memungkinkan masyarakat dapat mengakses secara luas. Keempat, memaksimalkan media pers sebagai bagian dalam mensukseskan jalannya pemilu. Pers berperan menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi serta melakukan pengawasan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Demi terwujudnya pemilu yang demokratis dan berintegritas, upaya-upaya di atas harus konsisten dilakukan. Demokrasi akan terjaga kesantunannya jika seluruh komponen setia menggandeng etika dan budaya politik yang sehat dan menyehatkan.
Achmad Zubaidi
Komisioner KPU Kabupaten Sumenep