OLeh : MOH. HAYAT*
Fenomena politik uang selalu menjadi perbincangan hangat dalam setiap pemilihan umum (pemilu) di Indonesia. Sebab, “permainan” uang dianggap mampu memobilisasi massa untuk menentukan arah pilihan kepada seseorang. Meski pada dasarnya politik uang tetap tidak dibolehkan dalam aturan, dan bisa masuk ranah tindak pidana pemilu sebagaimana di atur dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Namun, nyatanya malah terkesan menjadi trend dan budaya politik nusantara.
Bahkan, di pemilu tahun 2019 lalu, Badan Pengawas Pemilu (Bawsalu) merilis kasus politik uang cukup tinggi. Yakni, mencapai 262 kasus yang sudah dilakukan penyelidikan dan pengkajian. Ratusan kasus yang diterima oleh badan adhoc itu, 197 kasus diperoleh dari laporan masyarakat dan sisanya sebanyak 65 kasus merupakan hasil temuan dari bawaslu sendiri. Angka itu menunjukkan jika pola politik uang masih dominan mewarnai pesta demokrasi lima tahunan itu.
Hiruk pikuk politik uang juga diprediksi akan terjadi pada pemilu 2024 mendatang. Itu dilihat animo masyarakat yang mulai memperbincangkan partai politik dan tokoh yang akan berlaga dalam pemilu. Bagi mereka, hak politik akan disalurkan apabila ada biaya operasional berbentuk materi. Biasanya materi itu sudah diterima sebelum hari pencoblosan atau pemungutan suara digelar.
Tentu saja, parpol maupaun bakal calon legislatif (bacaleg) harus menyiapkan ongkos politik yang cukup besar. Hal itu agar mampu memenuhi hasrat partisipan yang hendak memberikan suaranya, termasuk operasional lain diluar itu. Tampaknya, politik uang ini bukan lagi sebatas permaian dibalik layar, melainkan sudah menjadi budaya politik di setiap kontestasi politik dilakukan.
Terjadinya transaksi politik uang sebenarnya bukan sepenuhnya kesalahan dari para aktor politik, melainkan juga dari pemilih. Keinginan pemilih akan adanya transaksi politik uang berjalan kelindan dengan hasrat para kandidat politik yang memiliki ambisi kemenangan cukup tinggi. Sehingga, dengan cara apapun harus dilakukan untuk meraih suara terbanyak, salah satunya dengan cara politik uang.
Selain itu, faktor pendidikan yang rendah mempengaruhi terjadinya politik uang itu. Banyak masyarakat tidak lagi memilih secara rasional, melainkan transaksional. Hal itu tentu saja tidak boleh lagi dilakukan, karena melanggar aturan. Yakni pasal 523 ayat 1, 2 dan 3 UU nomor 7/2017 tentang pemilu. Di mana sesuai aturan itu, transasi politik dilarang mulai dari dari masa kampanye, hari tenang dan saat pemungutan suara. Jika mengacu kepada regulasi, sudah tidak celah untuk melakukan politik uang.
Jika mengacu kepada Pasal 523 ayat (1) setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye Pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.OOO.OOO,OO (dua puluh empat juta rupiah).
Pasal 523 ayat (2) berbunyi: Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja pada masa tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada Pemilih secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah). Pasal 523 ayat (3) berbunyi: Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Jadi, politik uang bukanlah pelanggaran biasa dalam pelaksanaan pemilu, melainkan tindak pidana yang memiliki konsekuensi hukum. Tidak hanya etik, melainkan juga kurungan badan bahkan denda materi. Sebenarnya, tidak sedikit pelanggaran politik uang yang sudah mendapatkan ganjaran, namun masih saja terjadi dalam setiap pesta pemilu lima tahunan itu. Bahkan, terkesan sudah menjadi tradisi.
Modus dan Antisipasi Politik Uang
Banyak cara dilakukan untuk melakukan transaksi politik uang untuk memobilisasi pemilih dalam menentukan pilihannya. Salah satunya, dengan langsung memberikan uang kepada masing-masing individu. Jadi, uang dari kandidat itu langsung door to door diserahkan kepada warga yang sudah memiliki hak pilih. Ada juga yang melakukan dengan cara pembelian suara (vote buying).
Modus yang mungkin agak terselubung dengan aksi sosial adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat. Misalnya, dengan melayani masyarakat yang sakit dengan menyiapkan ambulance, memberikan jasa pelayanan pembuatan KTP atau sejenisnya yang dibutuhkan oleh masyarakat sekitar. Membantu kegiatan masyarakat juga bagian dari modus permainan politik uang. Masyarakat yang memiliki hajatan kemudian disiapkan sponsor atau pemberian bantuan.
Modus-modus semacam ini sebenarnya sudah terdeteksi oleh para penyelenggara, termasuk bawaslu. Bahkan, tindakan terhadap pelanggaran politik uang itu juga sudah dilakukan. Yang terpenting, pemilu 2024 mendatang, politik uang harus mampu ditekan sehingga bisa melahirkan suksesi kekuasaan yang berkualitas. Sehingga, negara ini bisa berkeadaban dan memiliki frekuensi lebih baik di bidang politik dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Tentu saja, sejak dini harus dilakukan pencegahan dan antisipasi oleh semua elemen yang terlibat dalam pelaksanaan pemilu 2024 itu. Misalnya, semakin gencara melakukan pendidikan politik kepdaa masyarakat. Utamanya, berkaitan dengan bahaya politik uang. Di mana pola transaksi politik seperti itu bisa melahirkan korupsi politik, dari sebelumnya yang hanya korupsi elektoral. Termasuk pelibatan tokoh agama dalam setiap ceramah dan siraman rohani yang dilakukan untuk selalu menekankan bahaya politik uang.
Selain itu, kepastian penegakan hukum juga memiliki peran penting dalam mencegah terjadinya politik uang. Yakni, penegak hukum tidak setengah hati dalam memberikan tindakan atas pelanggaran tersebut. Sehingga, kewibawaan penegak hukum bagi pelaku politik dan masyarakat akan terjaga dengan baik. Warga akan menjadi “takut” untuk melakukan politk uang. Pengawasan dari bawaslu juga harus maksimal, dan menindak tegas setiap pelanggaran yang terjadi.
Sebenarnya, yang paling penting adalah kesadaran masyarakat, aktor politik, partai politik dan patisipan politik untuk tidak melakukan politik uang. Lebih baik dalam pelaksanaan pemilu untuk beradu gagasan, ide, pemikiran tentang pembangunan negara ini. Intinya, harus memiliki komitmen bersama untuk menolak politik uang. Semoga pemilu 2024 tidak ada politik uang!.
*)Jurnalis di Sumenep