Reporter: harianjatim
Jakarta-harianjatim.com. Isu-isu yang terkait dengan calon presiden memiliki pengaruh pada elektabilitas pasangan calon presiden. Demikian temuan studi yang dilakukan ilmuwan politik, Profesor Saiful Mujani, yang disampaikan pada program ’Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ episode ”Rekam Jejak dan Elektabiltas Capres” yang disiarkan melalui SMRC TV pada Kamis, 7 Desember 2023.
Studi ini mengupas tiga isu. Pertama, kasus pemberhentian Prabowo Subianto dari dinas militer karena dinilai bertanggungjawab atas kasus penculikan dan penghilangan nyawa sejumlah aktivis demokrasi 1998. Kedua, kasus pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia Usia 20 tahun karena penolakan atas kehadiran tim Israel. Ketiga, kasus dugaan korupsi penyelenggaraan Formula E di DKI Jakarta.
Pelanggaran HAM Prabowo
Pada kasus Prabowo diberhentikan dari dinas tentara karena dinilai bertanggungjawab pada kasus penculikan sejumlah aktivis demokrasi 1998, hanya 38 persen yang tahu dan tidak tahun 62 persen. Dari yang tahu, ada 44 persen yang yakin bahwa pemberhentian Prabowo dari dinas tentara oleh presiden BJ Habibie atas rekomendasi DKP itu adalah keputusan yang benar. Ada 41 persen yang tidak yakin dan 15 persen tidak menjawab.
Dari 38 persen yang tahu kasus tersebut, 43,6 persen yakin keputusan Habibie memberhentikan Prabowo adalah benar. Dari yang yakin itu benar, sebanyak 22 persen memilih Anies-Muhaimin, 40 persen memilih Ganjar-Mahfud, 33 persen memilih Prabowo-Gibran, dan masih ada 5 persen yang belum menjawab. Sementara dari 41 persen yang tidak yakin keputusan itu benar, 22 persen memilih Anies-Muhaimin, 15 persen memilih Ganjar-Mahfud, 55 persen memilih Prabowo-Gibran, dan 7 persen belum menjawab.
Saiful memenyimpulkan bahwa ada efek elektoral pengetahuan publik pada kasus pemberhentian Prabowo dari dinas tentara karena kasus penculikan aktivis.
“Ganjar-Mahfud menang di antara orang yang yakin bahwa keputusan pemberhentian Prabowo itu benar. Namun di antara yang tidak yakin, Prabowo akan menang satu putaran,” lanjutnya. Karena itu, menurut Saiful, isu HAM tersebut penting untuk pertarungan antara Prabowo-Gibran dan Ganjar-Mahfud.
Saiful menjelaskan bahwa Prabowo diberhentikan dari dinas ketentaraan karena dinilai terlibat penculikan aktivis demokrasi ketika dia sudah menjadi Letnan Jenderal. Atas dasar perintah dari Panglima ABRI (Pangab), Wiranto, dibentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP) untuk mengadili dugaan keterlibatan Prabowo atas penculikan dan penghilangan nyawa para aktivis demokrasi 1998. Sebagian aktivis yang diculik kembali, namun sebagian lainnya belum kembali sampai sekarang dan tidak diketahui nasibnya. Saiful menyatakan ada jejak digital pidato Wiranto menjelang Pemilu 2014 dan 2019 yang mengatakan bahwa memang Prabowo melanggar kode etik atau bertanggungjawab atas penculikan dan penghilangan nyawa sejumlah aktivis tersebut.
Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang dibentuk Wiranto itu dipimpin oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD). Di antara anggotanya adalah sejumlah jenderal seperti Susilo Bambang-Yudhoyono, Agum Gumelar, Fahrur Rozi, dan beberapa jenderal lain. DKP memutuskan bahwa Prabowo bertanggungjawab atas penculikan dan penghilangan nyawa para aktivis tersebut. Ini, menurut Saiful, adalah fakta. Ada pun Prabowo kemudian tidak diadili di Mahkamah Militer, itu soal yang lain. Namun setidak-tidaknya di lingkungan tentara atau Angkatan Darat sudah dibuat Dewan Kehormatan yang memutuskan Prabowo bersalah atau bertanggungjawab atas penculitan dan penghilangan nyawa sejumlah aktivis tersebut.
Prabowo Subianto sudah tiga kali maju dalam kontestasi nasional. Pertama sebagai calon wakil presiden pada 2009, calon presiden 2014, dan calon presiden 2019. Ketiganya tidak berhasil. Menurut Saiful, salah satu penyebab kegagalan Prabowo dalam tiga kali pemilihan presiden terakhir disebabkan oleh isu penculikan dan penghilangan nyawa sejumlah aktivis 1998. Karena itu, menurut dia, kasus penculikan dan penghilangan nyawa para aktivis 1998 adalah isu yang penting. Minimal ada satu segmen dalam masyarakat yang menganggap isu ini penting.
“Selisih dalam dua kali pemilihan presiden terakhir tidak banyak. Pada 2014, selisih Prabowo dan Jokowi hanya sekitar 6 persen. Selisih suara di Pilpres 2019 sekitar 11 persen. Sebelumnya, isu tentang rekam jejak Prabowo terkait 1998 punya pengaruh negatif pada Prabowo,” ungkap Guru Besar Ilmu Politik UIN Jakarta tersebut.
Saiful menyatakan bahwa isu HAM yang berat tidak mengenal waktu. Kasus 65, misalnya, sampai hari ini masih menjadi persoalan. Tiap presiden berganti, isu 1965 masih terus muncul kembali untuk diselesaikan. Demikian halnya dengan kasus Prabowo, karena kasus tersebut adalah pelanggaran HAM yang berat.
“Kasus pelanggaran HAM berat tidak ada kadaluarsanya,” jelas Saiful.
Menurut Saiful, Indonesia bisa mencontoh kasus Afrika Selatan. Orang yang melakukan pelanggaran HAM berat dan sudah dibuktikan melanggar, harusnya mengakui, minta maaf, dan tidak ikut dalam pemilihan pejabat publik. Prabowo sendiri sudah diadili dan mengakui keterlibatannya dalam pelanggaran HAM berat tersebut. Menurut Saiful, seharusnya dia tidak lagi punya hak untuk menduduki jabatan publik, seperti kasus pelanggar HAM di Afrika Selatan. Pada kasus Prabowo, keputusan Dewan Kehormatan Perwira tidak punya implikasi politik apa-apa.
Saiful menambahkan bahwa untuk kasus Prabowo memang belum ada keputusan hukum. Namun, kata dia, politik tidak harus menunggu keputusan hukum. Keputusan etik sudah cukup untuk tidak memberi kesempatakan pada pelanggar etiknya menduduki jabatan publik. Perbuatan tercela atau tidak terhormat mestinya sudah bisa dijadikan alasan untuk tidak memberi tempat pada pelakunya sebagai pejabat publik. Dalam kasus Prabowo, perbuatannya bukan sekadar tercela atau tidak terhormat, tapi menghilangkan nyawa orang dan itu adalah kejahatan yang sangat serius.
Piala Dunia U-20