Oleh : Homaedi*
Pilkada Sumenep tahun 2024 kita dihadapkan dengan dua Paslon yang sama-sama kuat. Pertama KH. Ali Fikri A. Warits dan KH. Unais Ali Hisyam (FINAL) keduanya merupakan representasi dari kaum sarungan atau pesantren, juga sebagai representasi dari kelompok kiai yang memiliki nilai tawar dan pengaruh yang sangat besar di pesantren.
Kedua, pasangan Ahmad Fauzi Wongsojudo dan KH. Imam Hasyim (FAHAM) sebagai representasi dari kelompok nasionalis-religius. Kedua terus gencar melakukan kampanye-kampanye politik ke berbagai pelosok dan lapisan masyarakat.
Tentu dalam dunia politik segala cara bisa terjadi, bahkan mereka memiliki semboyan apapun caranya yang terpenting adalah kemenangan, meskipun dengan cara-cara yang tidak halal seperti praktik money politic.
Politik dengan cara demikian akan mengkerdilkan harapan masyarakat untuk mempunyai pemimpin baik yang lebih berpihak kepada kepentingan masyarakat. Suara masyarakat hanya ditukar dengan uang yang membuat kesenangan semata, yang justru berpihak kepada kepentingan oligarki.
Kedua Paslon bisa saja melakukan cara-cara politik kotor tergantung bagaimana strategi yang diimplementasikan oleh masing-masing Paslon. Lalu bagaimana sikap masyarakat ketika dihadapkan dengan dua kubu FINAL dan FAHAM ? Akankah kekuatan iman politiknya ditukar dengan uang?
Melihat masyarakat Sumenep yang mayoritas santri kadang menjadi tantang tersendiri. Kaum santri harus membela kekuatan uang atau kekuatan yang berpihak kepada masyarakat? Pasangan FINAL satu-satunya sebagai pasangan hijau yang melambangkan keislaman, ia memiliki gambaran yang utuh tentang kelompok santri yang sederhana.
Mengamati keadaan politik di Sumenep masyarakat akan dihadapkan dengan dua pilihan antara kuat iman dan memilih uang. Tidak asing jika kita mendengar statemen “ta’ melea mon tadhe’ pessena”. ini biasanya terjadi pada masyarakat awam atau masyarakat yang pendidikannya masih rendah. Berbeda halnya dengan masyarakat yang paham agama atau kuat iman yang memiliki statemen “ta’ eporopa pesse pakkun mele keae. Asareng Keae, menang kobessa kalah ta’ kastah”. Semboyan-semboyan demikian sebagai bentuk perlawanan untuk menghadapi praktik politik uang.
Politik uang termasuk salah satu dari skandal korupsi pemilu yang mengotori demokrasi. Praktik politik bahkan dianggap kaprah dalam kontestasi Pilkada di Sumenep, selain itu politik sembako yang dinilai lebih menggiurkan kepada masyarakat.
Politik sembako persisnya sering dilakukan oleh para calon petahana, modusnya ingin merayu masyarakat ketika menjelang Pilkada nanti. Jamak sekali proses-proses yang dilakukan oleh para Paslon untuk mempengaruhi masyarakat dengan cara-cara kotor.
Semisal yang lumrah terjadi, membagi-bagikan uang secara langsung, memberikan bantuan pendanaan terhadap tempat ibadah, membagikan sembako berupa beras, minyak goreng dan berbagai modus lainnya. Padahal kemungkinan besar itu adalah bantuan-bantuan nasional yang diklaim menjadi bantuan atas nama pemerintah daerah.
Dari beberapa praktik-praktik kotor dalam kampanye politik di atas yang lebih berbahaya bahkan menjadi isu besar di Sumenep, yaitu membagikan uang lewat temu kepala desa. Hal ini sangat menciderai demokrasi, yang seharusnya kepala desa bersikap netral justru menggunakan pengaruhnya untuk mendapatkan suara yang tertuju pada salah satu Paslon.
Pelanggaran money politic bisa mengotori terhadap terselenggaranya Pilkada di Sumenep dan merusak terhadap mental masyarakat dalam menentukan pilihanya. Namun tidak heran ketika hampir mendekati pencoblosan banyak modus yang dilakukan oleh kubu Paslon tertentu untuk meracuni pilihan rakyat agar tertuju pada Paslon yang mereka dukung. Yang biasa disebut oleh masyarakat dengan istilah “serangan fajar.” Biasanya yang berpotensi besar melakukan money politic adalah calon yang masih berkuasa dengan fasilitas yang memadai sehingga menerapkannya dengan terstruktur dan sistematis.
Praktik money politic adalah persoalan serius yang harus dicegah. Karena hal itu tidak sekedar menciderai demokrasi tetapi juga menguntungkan sekolompok elite politik yang punya kepentingan untuk melanggengkan kekuasaannya dengan segala cara. Praktik tersebut juga tidak mencerminkan nilai-nilai moral dan kejujuran yang seharusnya dijunjung tinggi. Pilkada tidak hanya menjadi pesta demokrasi semata tetapi menjadi ajang untuk menentukan peradaban yang lebih baik dan bermanfaat bagi kabupaten Sumenep kedepannya.
Makanya, masyarakat harus kuat iman dalam menghadapi Pilkada ini, mereka harus tetap kokoh dengan prinsip pilihannya. Salah satu caranya adalah menolak untuk menerima politik uang dengan modus apapun. Hal itu harus dibangun melalui kesadaran dari masing-masing individu. Selain menolak masyarakat juga harus kuat iman untuk terus mengawasi proses Pilkada nanti mulai dari masa kampanye sampai hari pencoblosan.
Sikap masyarakat dalam menghadapi Pilkada sangat menentukan terhadap masa depan kabupaten Sumenep. Jika mereka menerima dan memilih pemimpin berdasarkan uang dan sembako maka hal itu akan melanggengkan kekuasaan elite politik yang lebih banyak berpihak kepada kepentingan pribadi dan kelompoknya. Maka dari hal itu, jika ingin Sumenep lebih baik dan bermanfaat. Masyarakat harus kuat iman agar tidak tergoda nafsu syaitan semata. Mari junjung integritas kontestasi Pilkada hari ini untuk mewujudkan masa depan Sumenep yang lebih bermartabat.
*Santri PP Nasy’atul Muta’allimin Gapura dan Presiden Mahasiswa STAINAS Sumenep 2024.
Simak berita terbaru dan kabar terbaru melalui Google News harianjatim.com. atau download App HarianjatimCom.