Pesantren Bukan Sarang Kekerasan, Tapi Pusat Peradaban

  • Bagikan

Oleh: Ponirin Mika
Ketua Lakpesdam MWCNU Paiton dan Anggota Community of Critical Social Research Probolinggo

Belakangan ini, opini publik kembali diguncang oleh pemberitaan miring tentang dunia pesantren. Ada yang menyamakan pesantren dengan ruang kekerasan, penindasan, bahkan praktik kolot yang dianggap tidak relevan dengan zaman. Tuduhan ini jelas keliru, bahkan cenderung menyesatkan.

banner 336x280 banner 336x280

Satu dua kasus kekerasan di pesantren memang pernah mencuat. Misalnya kasus di Jawa Barat pada 2022 atau beberapa kasus kekerasan senioritas yang viral belakangan ini. Tapi perlu digarisbawahi: yang melakukan kekerasan itu adalah oknum, bukan sistem pesantren, apalagi ajarannya. Mayoritas pesantren justru mengecam dan menolak keras segala bentuk kekerasan. Para kiai dan ustadz menanamkan nilai kasih sayang (rahmah), adab, dan tanggung jawab dalam kehidupan sehari-hari.

Seperti pernah dikatakan KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), “Jangan ajari santri membenci. Ajari mereka mencintai ilmu, mencintai sesama, dan mencintai Tuhannya.” Kalimat ini merangkum ruh pendidikan pesantren yang menumbuhkan cinta, bukan dendam.

Pesantren sejatinya bukan sekadar tempat belajar agama. Ia adalah kawah candradimuka pendidikan karakter, spiritualitas, dan intelektualisme. Ribuan santri lahir dari pondok dengan akhlak yang mulia, jiwa sosial tinggi, dan semangat keilmuan yang murni. Apakah karena segelintir pesantren melakukan kesalahan, lantas semua pesantren harus dicap sama?

Tentu tidak.

Perlu diingat bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Jauh sebelum republik ini berdiri, pesantren telah melahirkan ulama, pejuang kemerdekaan, bahkan negarawan. Lihatlah KH. Hasyim Asy’ari, pendiri NU, yang mengatakan, “Tujuan ilmu adalah membentuk akhlak. Jika tidak berakhlak, maka ilmu itu menjadi fitnah.” Pesantren sejak awal memang menjadikan akhlak sebagai prioritas, bukan sekadar hafalan.

Lebih dari itu, pesantren adalah lembaga asli Indonesia yang menyatu dengan nilai-nilai kebangsaan. KH. Ma’ruf Amin bahkan menegaskan, “Pesantren adalah lembaga pendidikan asli Indonesia yang berhasil menyatukan nilai agama, budaya, dan kebangsaan.” Maka dari itu, mencederai citra pesantren sama saja dengan merusak jati diri bangsa sendiri.

Isu kekerasan dalam pendidikan memang penting untuk dikritisi. Tapi kritik itu harus objektif dan solutif. Pesantren pun tak anti-kritik—banyak di antaranya yang melakukan evaluasi internal, pembenahan sistem, penguatan kurikulum, hingga pelatihan bagi para asatiz agar lebih humanis dan profesional. Banyak pesantren juga sudah menggandeng lembaga independen untuk menegakkan standar perlindungan santri.

Sayangnya, kritik terhadap pesantren sering kali lahir dari ketidaktahuan. Banyak yang belum pernah masuk ke dunia pesantren, tapi sudah berani menghakimi. Padahal, jika mereka menyaksikan langsung kehidupan para santri—yang bangun sebelum subuh, belajar kitab klasik, membersihkan asrama, hingga berdiskusi tentang masa depan umat—mereka akan tahu: pesantren bukan tempat kekerasan, tapi tempat perjuangan.

Sebagaimana pernah dikatakan oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), “Pesantren adalah benteng terakhir masyarakat dalam mempertahankan moralitas.” Di tengah derasnya arus budaya pop, dekadensi moral, dan tantangan digital, pesantren justru hadir sebagai ruang aman bagi pendidikan karakter dan akhlak.

Prof. Azyumardi Azra juga pernah menyampaikan bahwa, “Pesantren punya potensi besar sebagai agen perubahan sosial, asal dibekali dengan pendekatan moderat dan adaptif terhadap zaman.” Banyak pesantren hari ini membuktikan hal itu—mereka membuka program teknologi, bahasa asing, hingga kewirausahaan yang berakar dari nilai-nilai keislaman.

Di tengah krisis akhlak generasi muda, pesantren menjadi salah satu harapan terakhir. Ketika gadget merampas masa depan anak-anak di kota, santri masih sibuk menghafal Qur’an dan belajar hadits. Ketika budaya instan melanda sekolah-sekolah umum, santri diajarkan kesabaran, istiqamah, dan cinta ilmu.

KH. Said Aqil Siroj bahkan pernah menegaskan, “Kalau ingin menjaga Islam Indonesia tetap damai dan ramah, maka jaga pesantren dan para kiai.” Maka, daripada menstigma pesantren, lebih baik kita dukung reformasinya.

Pemerintah perlu hadir lebih serius, tak hanya memberi izin dan dana, tapi juga membangun sistem perlindungan dan pembinaan. Media pun perlu bijak dalam memberitakan, agar tidak menciptakan ketakutan, tapi membuka ruang pemahaman.

Karena pesantren bukan musuh. Pesantren adalah mitra peradaban.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner 336x280
Verified by MonsterInsights