Yogyakarta.HarianJatim.Com-Kepulauan Kangean kembali menjadi sorotan. Di tengah janji manis investasi energi, warga Kangean justru menghadapi kenyataan pahit: eksploitasi tanpa kesejahteraan. Hal ini terungkap dalam diskusi publik bertajuk “Kangean Melawan: Menggugat Ekstraksi Migas Demi Penghidupan dan Alam” yang diselenggarakan oleh Forum Silaturahmi Mahasiswa Keluarga Madura Yogyakarta (FSM KMY), Selasa (1/7), secara daring.
Diskusi ini menghadirkan suara-suara kritis dari warga, aktivis lingkungan, dan mahasiswa asal Madura yang telah lama menyaksikan bagaimana tanah kelahirannya terus dihisap atas nama pembangunan.
Hasan Basri, seorang warga asli Kangean, membuka diskusi dengan suara getir. Ia mengungkap bahwa PT Kangean Energi Indonesia (KEI) telah beroperasi selama 32 tahun di tanah mereka, sejak tahun 1993. Namun, setelah lebih dari tiga dekade, warga Kangean masih hidup dalam ketimpangan. Listrik hanya menyala selama 12 jam secara bergiliran, pelabuhan tak kunjung dibangun, dan laut yang menjadi sumber utama penghidupan mereka tercemar limbah tambang.
“Sudah puluhan tahun mereka mengambil dari perut bumi Kangean, tapi apa yang kami dapatkan? Air tercemar, warga tidak bisa melaut, dan masyarakat terpecah karena konflik sosial,” ujar Hasan. Ia juga mengungkap bahwa ekspansi tambang migas kembali direncanakan di Blok Kangean Barat tanpa pelibatan warga. “Tiba-tiba diundang sosialisasi tanpa tahu agendanya, tanpa diberi akses ke dokumen AMDAL. Ini bukan partisipasi, ini pemaksaan,” tegasnya.
Penolakan warga terhadap rencana ekspansi ini bukan tanpa dasar. Mereka pernah berhasil menggagalkan survei seismik pada 2008, dan kini kembali menyuarakan perlawanan. Hasan pun menyampaikan tuntutan yang jelas: pemerintah harus mencabut izin PT KEI dan menghentikan seluruh operasi survei seismik oleh PT Gelombang Seismik Indonesia, mitra PT KEI.
Senada dengan Hasan, Wahyu Eka Setyawan, Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur, memperkuat kritik terhadap PT KEI. Menurut Wahyu, keberadaan tambang migas justru memperparah penderitaan warga Kangean. Ekonomi lokal tidak tumbuh, angka perantauan tinggi, dan ketergantungan terhadap laut sebagai sumber hidup justru dirampas. “Tambang bukan solusi kesejahteraan. Mereka masuk dengan cara yang tidak baik, apalagi pelaksanaannya pasti buruk,” pungkas Wahyu.
Ia juga menegaskan bahwa PT KEI telah melanggar Pasal 27 dan 70 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, karena tidak melibatkan warga sejak awal penyusunan AMDAL. Bahkan, teknologi apa pun tidak bisa sepenuhnya memulihkan kerusakan ekologis akibat tambang migas. “Warga Kangean jangan sampai jadi tamu di rumahnya sendiri,” tambahnya.
Sementara itu, Ach Nurul Luthfi, Ketua Umum FSM KMY, menyoroti aspek hukum dan kebijakan yang memperparah situasi. Menurutnya, UU No. 1 Tahun 2014 tentang Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) telah membuka celah legal melalui skema KKPRL (Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut), yang kerap dijadikan tameng investasi ekstraktif di wilayah rentan seperti Kangean.
Tak hanya itu, Luthfi juga mengkritik dampak sentralisasi perizinan dalam UU Cipta Kerja. Menurutnya, pemerintah daerah dan masyarakat lokal kehilangan kendali atas ruang hidup mereka sendiri. “Perizinan yang ditentukan di pusat seringkali tidak sesuai dengan aspirasi dan tata ruang lokal. Inilah pemicu konflik agraria dan lingkungan yang merajalela,” katanya.
Luthfi menegaskan bahwa apa yang terjadi di Kangean bukan hanya pelanggaran lingkungan, tetapi juga pelanggaran hak asasi manusia. Hak atas informasi, atas lingkungan yang bersih, dan atas penghidupan yang layak—semuanya dijamin konstitusi, namun diabaikan demi kepentingan industri.
FSM KMY melalui forum ini menyerukan agar negara berpihak pada rakyat, bukan korporasi. “Kita tidak menolak pembangunan, tapi pembangunan yang adil, partisipatif, dan tidak merampas kehidupan. Kangean tidak butuh tambang, Kangean butuh keadilan,” tutup Luthfi.