Demokrasi Indonesia: Problematika Sistem Pemilu

  • Bagikan

Berbicara mengenai Demokrasi di Indonesia, yang terlintas sementara dalam fikiran kita adalah segudang permasalahan Pemilu dari masa ke masa. Undang-undang yang dirancang DPR bisa kita lihat bersama bahwa di sana tidak menunjukan suatu inkonsistensi. Maksudnya adalah undang-undang yang dicetuskan oleh DPR masih sering mengalami perubahan. Dari hal tersebut kita sementara mengindikasikan bahwa masih banyak sekali trial and error dalam pilitik electoral era reformasi ini. Indonesia belum sepenuhnya merdeka dari sistem demokrasi dengan format yang baku.

Model keserentakan pemilu menjadi isu yang sentral hingga hari ini. Di mana keserentakan Pemilu diatur dalam Undang-undang Pemilu No 7 Tahun 2017. Banyak kalangan menganggap UU tersebut belum sempurna dijalankan karena kita ketahui bersama pada tahun 2019 kendala teknis di sana sini masih banyak sekali kita temukan. Kendala teknis tersebut secara tidak sadar juga berefek pada kemurnian suara para pemilih, artinya ada potensi terkontaminasi.

banner 336x280 banner 336x280

Bayangkan saja, semua orang di Indonesia yang sudah mempunyai hak pilih dipaksa untuk memilih para calon pemimpin mereka dalam satu kali waktu. Kondisi sosial, pendidikan, ekonomi yang berbeda-beda tentu akan sangat mempengaruhi bagaimana mereka memilih pemimpin. Pada tahun 2019 kita diberikan 5 surat suara untuk formasi yang berbeda-beda dengan pilihan yang sangat beragam. Kita khawatir, rakyat menggunakan hak pilihnya tidak sepenuhnya atau bahkan tidak tersalurkan karena mereka tidak tahu profiling para calon pemimpin. Tahun 2019 fokus rakyat hanya kepada pemilihan Presiden dan Wakil Calon Presiden. Padahal masih ada 4 pemilihan urgen, yang hasilnya akan melahirkan pemimpin dengan kebijakan-kebijakan yang kita harapkan bersama.

Perludem pernah mengajukan uji materi terhadap UU No 7 Tahun 2017, namun mendapat penolakan dari Mahkamah Konstitusi (MK) dengan putusan nomor 55/PUI-XVII/2019. MK berpendapat bahwa pemilu serentak merupakan salah satu cara kita untuk melakukan penguatan sistem presidensial dengan 5 kotak suara secara langsung. Meski begitu, MK juga mengakomodir tuntutan perludem mengenai alternatif keserentakan.

KPU dan jajaran ke bawah yang dalam hal ini saya kira posisinya hanya sebagai wasit. Sangat terbebani dengan tugas teknis pelaksanaan Pemilu yang tidak efektif dan efisien. KPU sering mendapatkan bola panas dari berbagai stakeholder, baik itu partai maupun yang lainnya. Dengan UU yang belum sepenuhnya sempurna dan terkesan dipaksakan tentunya fokus msyarakat diarahkan untuk menyalahkan kepada KPU. Padahal yang membuat UU/regulasi adalah Legislatif. Dari sisi kemanusiaan juga sangat miris, ketika Pemilu 2019 banyak sekali memakan korban karena kelelahan menjalankan tugas kepemiluan. Tanpa diimbangi dengan SDM yang mumpuni dan tenaga manusia yang dipaksa untuk bekerja 24 jam dalam beberapa hari menjelang pelaksanaan Pemilu.

Belum adanya sistem digitalisasi pemilu juga menjadikan banyak celah ketidak sempurnaan hasil. Karena dengan sistem manual, kita masih membuka ruang permasalahan dilapangan dalam pelaksanaannya. Meskipun sedikit demi sedikit hal tersebut sudah diupayakan untuk menjadi lebih baik. Apakah kemudian Pemilu serentak 2024 kita menjadi lebih optimis, atau bahkan tetap stagnan pada titik yang sama? Semoga kita segera merdeka dari sistem demokrasi yang lebih baik lagi.

Azizurrochim – HMI Cabang Tulungagung

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner 336x280
Verified by MonsterInsights