Kontroversi Hasil Putusan MK Atas Sengketa Pilpres 2024

  • Bagikan

Oleh : Berlian Febyana Puspitasari*

“Sebagaimana telah diagendakan, sidang pleno pengucapan putusan perkara nomor 114/PUU-XIX/2022 akan diselenggarakan pada Kamis, 15 Juni 2023 pukul 09.30 WIB,” dikutip VIVA dari keterangan resmi MK

banner 336x280 banner 336x280

Mahkamah Konstitusi (MK) telah resmi memutus sengketa perselisihan hasil Pilpres 2024. Putusan itu dibacakan pada Senin (22/4) tepat pada 14 hari kerja setelah gugatan diajukan. Setlah melihat fakta=fakta yang terungkap, pada persidangan saat itu, MK menyatakan bahwa seluruh gugatan yang diajukan oleh Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud ditolak.

MK telah menerima permohonan uji materi (judicial review) terhadap Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu terkait sistem proporsional terbuka yang didaftarkan dengan nomor registrasi perkara 114/PUU-XX/2022 pada 14 November 2022.

Sebelum membahas lebih lanjut soal Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, sebelumnya di hari yang sama, MK juga memutus permohonan lain yang juga menggugat tentang Pasal 169 huruf q UU Pemilu. Berikut daftarnya:

  1. Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh PSI dan 4 pemohon perseorangan
  2. Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Partai Garuda
  3. Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 yang diajukan Erman Safar dkk

MK menolak 3 permohonan di atas. Selain itu ada juga 2 permohonan yang dinyatakan tidak dapat diterima, yaitu:

  1. Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Arkaan Wahyu Re A
  2. Perkara Nomor 92/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Melisa Mylitiachristi Tarandung

Pertimbangan Hukum

Untuk perkara yang dikabulkan sebagian, hakim konstitusi Guntur Hamzah yang membacakan pertimbangan hukum mengatakan pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden perlu melibatkan calon-calon yang berkualitas dan berpengalaman. Dia mencontohkan jabatan-jabatan yang sama-sama dipilih melalui pemilu tetapi batasan usianya berbeda yaitu Gubernur 30 tahun, Bupati dan Wali Kota 25 tahun, anggota DPR/DPD/DPRD 21 tahun.

“Artinya, Presiden dan Wakil Presiden yang pernah terpilih melalui pemilu dengan sendirinya seyogianya telah memenuhi syarat usia untuk jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Dalam rangka mewujudkan partisipasi dan calon-calon yang berkualitas dan berpengalaman, Mahkamah menilai bahwa pejabat negara yang berpengalaman sebagai anggota DPR anggota DPD, anggota DPRD, Gubernur, Bupati dan Wali Kota sesungguhnya layak untuk berpartisipasi dalam kontestasi pimpinan nasional in casu sebagai calon Presiden dan calon Wakil Presiden dalam pemilihan umum meskipun berusia di bawah 40 tahun,” kata Guntur.

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum, MK menyimpulkan permohonan tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya dan memutuskan untuk menolak permohonan provisi para pemohon dan menolak para pemohon untuk seluruhnya.

Terhadap hasil daripada putusan itu, khalayak publik kini tengah mengutukinya hingga timbul cuitan-cuitan di media sosial tepatnya. Luapan kemarahan dan kekesalan tersebut ditumpahkan netizen di media sosial. Sala satu contohnya di aplikasi X (Twitter), beragam cuitan menyatakan kegeramannya terhadap putusan itu. Di kolom-kolom komentar postingan media sosial terkait sengketa hasil Pilpres 2024, orang marah dan menyebut hakim MK sebagai oknum sebernarnya yang telah membunuh demokrasi.

Mudahnya, putusan itu sejatinya tidak sesuai dengan kemauan banyak orang. Hati nurani sebagian orang tersayat karena menyaksikan bahwa putusan itu mengesahkan dan melegitimasi kecurangan pemilu yang terkadung serta telah dianggap sudah terang benderang terjadi pada pagelaran Pilpres 2024 ini.

Seklibat terdegar berapa cuitan bahwasannya MK menolak pemohonan dikarenakan supaya sistem pemilihan umum diubah menjadi proporsional tertutup.

Sebelum putusan MK tersebut dibacakan, pada akhir bulan lalu pakar hukum tata negara yang pernah menjabat sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, mengaku telah mendapatkan informasi bahwa hakim konstitusi bakal mengabulkan gugatan tentang sistem pemilu tersebut dan MK akan memutuskan Pemilu legislatif diubah menjadi sistem proporsional tertutup.

Para pemilih, kata Denny, akan kembali mencoblos gambar partai saja di surat suara seperti pada masa Orde Baru, dan bukan foto calon legislatif secara langsung.

Denny menambahkan berdasarkan informasi yang dia terima, putusan itu didukung oleh enam hakim MK, sementara tiga hakim lainnya berbeda pendapat atau menyampaikan dissenting opinion.

“Dalam provisi, menolak permohonan provisi para pemohon. Dalam pokok permohonan, menolak permohonan para pemohon seluruhnya’’ kata Ketua hakim Anwar Usman di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, pada Kamis (15/6).

Sebelumnya, beberapa akademisi dan pegiat politik khawatir jika sistem pemilu diubah ke proporsional tertutup, Pemilu 2024 berpotensi mundur. Sebab, pasal-pasal yang diberlakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam pemilu tahun depan tidak akan sesuai dengan perubahan sistem pemilu yang sebelumnya bersifat terbuka menjadi tertutup. Selain itu, perubahan menjadi sistem proporsional tertutup juga tidak memberi kepastian kepada para calon legislatif (caleg) karena partai jadi punya kekuasaan mutlak untuk mengotak-atik daftar calegnya. Perlu diketahui, pendaftaran caleg telah berlangsung pada awal Mei.

Gugatan uji materi yang menyoal Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) tersebut diajukan enam pemohon, yakni Demas Brian Wicaksono yang merupakan kader PDI Perjuangan, lalu Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono.

Menurut mereka, sistem proporsional terbuka menimbulkan individualisme para politisi, yang berakibat pada konflik internal dan “kanibalisme” di internal partai politik yang bersangkutan.

Terdapat beberapa perbedaan pendapat atau “Dissenting opinion” dari 4 hakim konstitusi serta 2 hakim konstitusi yang memberikan alasan berbeda atau concurring opinion. Empat hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda yakni Saldi Isra, Arief Hidayat, Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams. Keempatnya menilai seharusnya MK menolak permohonan itu.

Hakim konstitusi Saldi Isra yang menyatakan dissenting opinion menyebut putusan itu aneh luar biasa karena menurutnya MK berubah pendirian dalam sekelebat. Sebab, menurutnya, MK sebelumnya sudah menyatakan urusan usia dalam norma pasal yang dimohonkan adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya.

Sejalan dengan Hakim Konstitusi Saldi Isra, Arief Hidayat juga memaparkan bahwa pemilu di Indonesia dilangsungkan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.

Era reformasi, katanya, ditandai dengan jatuhnya rezim non-demokratis pada 1998. Sejak saat itu, sudah enam pemilu dilaksanakan bahkan pemilu 2024, sambung Arief, merupakan pemilu serentak yang cukup kompleks karena digelar pada hari yang sama.

Dari perjalanan enam kali pemilu tersebut, publik bisa mengukur kematangan demokrasi Indonesia. Karena pemilu yang adil, sebutnya acap kali dijadikan instrumen mengukur kadar demokrasi apakah semakin baik atau mengalami penurunan.

Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil menilai putusan MK “seolah-olah menoleransi pelanggaran serius soal politisasi bansos dengan alasan tidak cukup bukti, dan tidak ada bukti yang mendalam.”

“Untuk meyakini terjadi pelanggaran bansos itu, padahal memang kondisinya proses pemeriksaan di MK kan waktunya terbatas. Makanya unsur alat bukti petunjuk dan keyakinan hakim menjadi sangat penting sebetulnya,” kata Fadli kepada BBC News Indonesia.

*) Mahasiswa Universitas Trunojoyo Madura

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner 336x280
Verified by MonsterInsights