Permasalahan dari bidang ekonomi memang tidak pernah ada hentinya, seperti permasalahan yang sedang ramai dibicarakan saat ini yaitu perekonomian global yang akan “diselimuti awan gelap”. Hal tersebut diprediksikan akan dialami oleh banyak negara dan Indonesia juga termasuk kedalamnya.
Berita ini bermula dari adanya pernyataan yang dikeluarkan oleh Presiden RI Bapak Joko Widodo, yang beliau dapatkan dari ‘bisikan’ tokoh-tokoh penting seperti Sekjen PBB Antonio Guterres, para kepala lembaga internasional, dan semua kepala negara G7. Beliau menyimpulkan bahwa “keadaan perekonomian pada tahun ini (2022) sudah sulit, tahun depan akan gelap. Akan ada 66 negara yang akan ambruk ekonominya. Hal ini karena posisi pertumbuhan ekonomi di semua negara bukan hanya turun namun anjlok. Terlebih inflasinya yang naik” ujarnya dalam acara Silaturahmi Nasional Persatuan Purnawirawan TNI AD (PPAD) di Sentul International Convention Center (Bogor, Jumat 5/8/2022). Sehingga tidak heran bahwa isu ini menjadi perhatian penting bagi seluruh pihak di Indonesia, baik pemerintah hingga masyarakat.
Apabila dilihat dari perekonomian saat ini, dunia secara global dalam keadaan yang sulit. Penurunan nilai pertumbuhan ekonomi yang drastis menjadi salah satu penyebabnya, bahkan negara maju seperti Amerika dan China telah mengalaminya. Hal ini dijelaskan oleh Ibu Anny Ratnawati selaku Ekonom Senior “Pada Tahun 2022 ini karena adanya agregat demand yang tinggi, akibat Covid-19 mereda. Namun, pada saat yang bersamaan supply-side nya yang tidak bisa mengikuti kecepatan itu, kemudian juga ada sebab lain seperti climate changes, perang Ukraina-Rusia yang mengakibatkan harga minyak dunia juga naik. Serta yang membuat dunia khawatir adalah adanya inflasi yang hyper-inflation, sehingga dunia harus mengeluarkan kebijakan untuk mendorong inflasi turun yaitu dengan menaikan suku bunga” ujar beliau dalam diskusi interaktif di media CNBC Indonesia, Selasa (27/09/2022). Kebijakan menaikkan suku bunga ini dilakukan oleh The Fed juga BI, diharapkan dapat mengurangi inflasi. Melihat dari sisi ekonomi Indonesia tahun 2022 menurut Mentri Keuangan Ibu Sri Mulyani “Ekonomi Indonesia dibandingkan negara lain di tengah situasi kenaikan inflasi dan bank sentral yang agresif menaikkan suku bunga kebijakannya, masih cukup positif di sepanjang tahun ini” ujarnya. Bahkan Sri Mulyani optimistis, pertumbuhan ekonomi Indonesia di sepanjang tahun ini bisa menyentuh di atas 5 persen.
Dunia secara global pada tahun 2023 diperkirakan akan mengalami resesi. Ibu Sri Mulyani menyatakan bahwa Inflasi yang tinggi merupakan akar masalahnya. Harga pangan dan energi yang menjulang tinggi mendorong bank sentral mengambil kebijakan agresif dengan meningkatkan suku bunga secara cepat dan terus menerus hingga likuiditas ketat di negara maju, yang menyebabkan berdampak kepada negara berkembang. Pernyataan yang sama dikemukakan oleh Ibu Anny Ratnawati “Apabila banyak negara yang menerapkan kebijakan menaikkan suku bunga untuk mendorong inflasi, maka pertumbuhan akan cenderung negatif dan mengalami resesi.” Indonesia sebagai negara berkembang juga akan merasakan dampak dari kondisi dan kebijakan yang diambil negara-negara maju. Hal ini akan dilihat dari besarnya kenaikan suku bunga yang negara maju terapkan, sehingga akan mempengaruhi Indonesia dari sisi ekspor dan dari sisi konsumsi yang mungkin mengalami pelemahan. Apabila kedua sisi tersebut melemah maka ditakutkan pertumbuhan perekonomian negara akan turun.
Strategi diperlukan untuk meminimalisir hal tersebut terjadi. Oleh sebab itu, DPR bersama pemerintah telah menyusun beberapa strategi keluar (exit strategy) sebagai cara untuk keluar dari potensi krisis, yaitu dengan mengeluarkan anggaran subsidi energi dinaikkan hingga Rp502 triliun. Hal itu sebagai kompensasi tidak dinaikkannya harga subsidi, terutama BBM dan LPG. DPR juga mendorong agar subsidi energi dari bersifat terbuka menjadi bersifat tertutup.
Menurut penulis, hal tersebut merupakan strategi yang baik, karena dengan adanya subsidi ini maka harga BBM akan menurun sehingga harga barang komoditas dapat terkendali. Hal tersebut dapat mengatur sisi utama dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yaitu sektor konsumsi rumah tangga yang memberikan ‘sumbangsih’ paling besar untuk perekonomian di Indonesia, juga dapat membantu seluruh masyarakat terutama masyarakat menengah kebawah perihal ketidak mampuan mereka untuk membeli kebutuhan pokok karena harga menjulang tinggi yang berpotensi krisis kelaparan. Strategi ini lebih efektif dibandingkan dengan pemberian bantuan dana sosial, karena penyaluran dana sosial hanya akan terfokus pada masyarakat ‘miskin’ yang berarti tidak secara keseluruhan, yang memungkinkan tingkat harga komoditas tetap akan meningkat dan mempengaruhi konsumsi masyarakat lainnya.
Kebijakan lain yang dikeluarkan pemerintah yaitu dengan melakukan penghematan anggaran di seluruh kementerian/lembaga hingga Rp24,5 triliun untuk anggaran yang tidak prioritas. Jika kita lihat kebelakang, banyak anggram APBN yang keluar hanya untuk keperluan lembaga dan para pemangku kebijakan saja, dengan adanya kebijakan ini penulis mengharapkan dana APBN yang didapatkan dari masyarakat akan disalurkan untuk kepentingan masyarakat pula sehingga negara ini tidak terlalu terpuruk saat perekonomian mengalami penurunan.
Strategi terakhir yaitu mendorong agar inklusi keuangan melalui pengintegrasian data kependudukan melalui Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan data perpajakan melalui Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) segera direalisasikan, khususnya bagi warga yang sudah memiliki penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Menurut penulis, strategi yang diambil ini sangat berguna untuk melihat besarnya ketimpangan pendapatan di Indonesia, sehingga dapat membantu pemerintah untuk menyalurkan dana bantuan kepada pihak yang tepat dan mengawasi pembayaran pajak bagi masyarakat yang berpendapatan tinggi sehingga tidak ada masyarakat yang ‘menyepelekan’.
Berdasarkan pembahasan diatas, penulis simpulkan bahwasanya Indonesia telah memiliki beberapa strategi (exit strategy) untuk menjaga perekonomian dari isu resesi sebagai dampak kebijakan perekonomian global. Apabila strategy tersebut dijalankan sesuai dengan perencanaan yang ada tidak sekedar ‘janji’ yang ditawarkan juga dengan tidak adanya ‘penyelewengan’ dana, maka Indonesia akan siap menghadapi situasi perekonomian tahun depan.
Perekonomian Indonesia juga dapat lebih siap lagi apabila masyarakat dan dunia usaha juga mempersiapkan dirinya, seperti mempersiapkan cashflow secara lebih konservatif untuk dunia usaha. Memperbanyak dana darurat dan mengurangi pengeluaran yang tidak penting untuk masyarakat, kemudian menyimpan dana mereka diinvestasi jangka panjang, seperti menyisihkan dana pada reksadana pasar uang yang berbasis obligasi korporasi, jika sudah ada tanda- tanda perekonomian mulai pulih barulah beralih ke investasi saham dan crypto. Hal ini karena apabila suku bunga naik maka nilai saham dan crypto akan turun alangkah lebih baik mengambil zona aman agar dana tetap bisa berkembang namun minim resiko. (*)
Penulis adalah Rena Aulia Mahasiswa Semister V Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri Malang