Ajaran-Ajaran Kesetiaan

  • Bagikan

Oleh Zaehol Fatah (Kaum S3tv)

Sekitar tahun 1920-an KHR. As’ad Syamsul Arifin merekrut barisan Palopor yang berasal dari kaum bajingan yang rata-rata berada dalam dunia kegelapan, hidup di jalan pelanggaran masyarakat dan bermandikan dunia sengit pertempuran. Kaum ini ditarik dalam satu barisan kebersamaan untuk syiar Islam dan pesantren agar perlahan menjadi insyaf dan bening, dijauhkan dari ketersinggungan dan dirangkul dalam kesetiaan. Kaum bajingan sangat menghargai kesetiaan, dan dapat naik pitam sehingga rela membunuh bila tersinggung.

Sang Pahlawan Nasional Kiai As’ad memberikan janji kesetiaan (Al Wafa), menyamakan satu frekuensi tekad dan semangat untuk satu jiwa dalam perjuangan. Memberikan harapan kebersamaan dunia dan juga kebersatuan untuk berkumpul di akhirat tiada akhir, abadi.

“Sapa bei bajingan se ngelakone dusa se paling hebat tape norok tang perintah, bung sambung sabbu’ pagik neng akhirat, montada’ e suarge engkok senyareah (Siapa saja bajingan yang berbuat dosa paling hebat pun, tapi ikut perintah saya, sambung menyambung sabuk, kelak di akhirat akan bergabung dengan saya, kalau tidak ada di surga, saya yang akan mencari!)” (Syamsul A. Hasan, Kharisma Kiai As’ad Di Mata Umat, 2003).

Baca Juga :  Mahasiswa UIN Semarang Belajar Bahasa Asing di Pesantren Nurul Jadid Paiton

Bila KHR. As’ad Syamsul Arifin memperlakukan para bajingan dengan kehormatan dan bermartabat agar menemukan jalan pulang menuju Allah ﷻ, bagaimana dengan relasi kaum santri?!

Maka, nilai-nilai kesetiaan kaum santri harusnya lebih mengakar dan kokoh dalam relasi pengabdian dan perjuangan. Terus menjaga dan memupuk mata nurani untuk senantiasa terbelalak bahwa kita satu frekuensi jiwa raga dalam setiap hentak napas pengabdian dan yang diperjuangkan. Penting menjaga ucapan dalam berkomunikasi dan mengambil adab yang baik untuk memperkuat tali silaturrahmi dan memegang kuat kesetiaan serta ruh kebersatuan. Karena banyak kehidupan yang bersama, namun sulit bersatu pikiran dan tujuannya.

Mengaji pada kehidupan Landak dengan anak-anaknya saat di musim penghujan yang dingin. Bagaimana Landak-landak ini saling mendekat kepada sesama Landak untuk mengatasi dingin dan memperoleh kehangatan. Karena peristiwa saling mendekat, satu sama lain tertusuk bulu yang tajam. Setelah hangat Landak-landak ini menjauh kembali. Dan kalau kedinginan mendekat dan merapat kembali dengan memanggul luka berdarah. Landak ini memiliki kesadaran bahwa kehangatan ditebus dengan luka berdarah yang merupakan jalan yang harus ditempuh, tanpa harus membuang kebersatuan dalam kebersamaan.

Baca Juga :  Kagum Santri Fasih Berbahasa Mandarin, Yayasan Hakka Malang Kunjungi Pesantren Nurul Jadid Paiton

Untuk kebersamaan dalam kehidupan bersama, bisa saja akan terluka atau saling terluka berdarah. Namun dengan kejujuran, menjauhi kedustaan dan membuang pengkhianatan inilah jalan kesetiaan yang tak akan pernah habis.

Sungguh kebohongan dan penghianatan merupakan penyakit yang sangat menyakitkan dan meninggalkan bekas mendalam. Tidak jujur dalam amanat, menghianati kesetiaan, mengingkari kesepakatan, menghancurkan keputusan bersama, meninggalkan perkawanan dalam tujuan bersama merupakan bahaya laten yang ada sejak peristiwa Habil dan Qabil putranya ayahanda Nabi Adam alahissalam. Yang menyebabkan Habil terbunuh dari angkara murka Qabil. Korban jatuh karena tidak menjunjung sportifitas, membuang fair dalam tugas.

Pengabdian dan perjuangan di level apapun untuk mencapai tujuan bersama yang menjadi rujukan dan pegangan ‘sangat’ dibutuhkan pegangan ‘satu’ prinsip bersama. Terkadang silaturahmi menjadi kering-kerontang karena sulit mendapatkan arus pemahaman bersama yang komprehensif. Ujian dalam perjuangan dan pengabdian yaitu kemampuan menyelesaikan konflik kepentingan dalam wadah yang benar dan legal. Perseteruan yang tak mendapatkan saluran terbuka untuk memperoleh anugerah kebersamaan agar bergerak totalitas dalam pikiran, hati dan tindakan dapat menyebabkan fitnah, kerusakan dan hancurnya kesetiaan.

Baca Juga :  Mahasiswa UIN Semarang Belajar Bahasa Asing di Pesantren Nurul Jadid Paiton

Sering kali seseorang keluar barisan hanya untuk urusan remeh-temeh, melarikan diri dari tanggungjawab, merasa benar sendirian, tidak mampu bermusyawarah dan khawatir untuk mengambil resiko perjuangan. Dalam kehidupan digital bila berkumpul dalam whatsapp atau telegram sering bertindak keluar groups. Menjadi cengeng, sentimentil negatif, melakukan provokasi, ghibah dan malah bicara melalui jaringan pribadi tanpa mampu memanfaatkan forum groups digital atau rapat atau pergi dari tabayyun (klarifikasi). Meninggalkan teman dalam groups digital yang sedang berjuang merupakan penghianatan tugas, selama dirinya memanggul misi perjuangan, baik secara tim atau kelembagaan atau dalam sebuah panitia taktis.

Mari tengoklah, karakter kesetiaan KHR. As’ad Syamsul Arifin yang diilustrasikan sebagai kesatria yang gagah berani, rela berkorban: materi, raga, nyawa dan bergerak cepat serta tangguh dalam perjuangan. (Ahmad Sufiatur Rahman, Kesatria Kuda Putih, 2015). Tentu inilah ajaran-ajaran kesetiaan yang terasa di setiap sanubari para santri, palopor dan masyarakat yang mengenal sosok KHR. As’ad Syamsul Arifin.

Perbedaan merupakan sunnatullah yang tak mungkin dikikis habis dalam kehidupan dunia, justru perbedaanlah yang dapat menyatukan ketika memiliki cakrawala kesadaran yang luas dan pengetahuan yang mumpuni. (*)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner 336x280